Penciptaan dan Penyempurnaan: Gereja sebagai Tujuan dari Sejarah

oleh S.E. Wang

Pasal-pasal pertama dan terakhir dari Alkitab menceritakan kepada kita kehendak dan rencana Allah bagi umat manusia, dan penyempurnaan rencana ini di Yerusalem yang baru. Apa yang telah dimulai di taman akan disempurnakan di dalam gereja. Pasal-pasal ini juga memberi kita harapan dalam ketegangan eskatologis zaman ini.

 

Catatan Editor

T. Jarred Jung menjabat sebagai dosen teologi residen di East Asia School of Theology dan merupakan Fellow di Center for House Church Theology. Ia memiliki gelar PhD dari Southeastern Baptist Theological Seminary.

Artikel S.E. Wang yang berjudul "Gereja sebagai Tujuan Sejarah" adalah sebuah karya yang kaya akan teologi alkitabiah. Yang mendasari pembacaan Wang terhadap Alkitab adalah titik tolak teologi John Calvin - kedaulatan Allah atas segala sesuatu. Dengan demikian, tulisan Wang berasal dari khazanah yang kaya dari para teolog Reformed, mulai dari Geerhardus Vos dan Meredith Kline hingga Richard Gaffin dan G.K. Beale.

Teologi Reformed seperti ini adalah sebuah fenomena yang relatif baru di dalam gereja-gereja rumah di Tiongkok. Dalam sebagian besar sejarahnya, gereja-gereja ini terutama dipengaruhi oleh para teolog pendahulu seperti Watchman Nee dan Wang Mingdao. Meskipun kedua orang ini sangat memengaruhi gereja rumah—terutama melalui jaringan perintisan gereja dari Nee dan teladan penderitaan dari Wang—keduanya tidak memiliki doktrin yang kuat tentang penciptaan. Sebaliknya, penekanan teologi mereka adalah pada dunia yang telah dirusak oleh dosa yang akan dimusnahkan dan digantikan. Narasi alkitabiah semacam ini menentukan sebagian besar penekanan eskatologis dari teologi gereja rumah. Dunia ini tidak penting, sementara tempat gereja di dalam dunia ini terbatas pada sebuah pulau yang pribadi, terkadang rahasia, dan selalu terpisah. Namun, melalui usaha para teolog seperti Jonathan Chao yang merupakan seorang Tionghoa-Amerika dan Stephen Tong yang merupakan seorang Tionghoa-Indonesia, banyak gereja-gereja rumah pada tahun 2000-an mulai melihat kepada teologi Reformed dan doktrinnya tentang penciptaan, pemahamannya akan tujuan manusia dalam Mandat Budaya, eskatologi tentang penyempurnaan dan bukannya penggantian, dan sebagai konsekuensinya, peran gereja dalam narasi agung Tuhan. Tulisan S.E. Wang menunjukkan bagaimana pembacaan narasi alkitabiah seperti itu menempatkan gereja—dan sebagai hasilnya, gereja-gereja rumah di Tiongkok—di dalam rencana historis Allah. 

Dalam gereja-gereja rumah Reformed ini, Wang Yi, pendeta dari Early Rain Covenant Church dan teman dekat S.E. Wang, juga berusaha untuk membawa narasi alkitabiah seperti itu ke dalam dunia urban Tiongkok kontemporer. Yang mendasari proklamasi publik yang telah membuat Wang Yi menjadi tokoh yang terkenal (dan terkadang kontroversial) di gereja-gereja rumah di Tiongkok adalah sebuah narasi alkitabiah yang menegaskan bahwa "Sejarah adalah Kristus yang Ditulis Dengan Sangat Jelas" (1). Wang Yi menyerukan sebuah "eskatologi makro" yang memandang kerajaan Kristus sebagai penggenapan dari segala sesuatu yang telah ditetapkan pada saat penciptaan (2). Sebagai hasilnya, gereja adalah tujuan akhir, bukan hanya dari keselamatan, tetapi juga dari penciptaan. Seperti yang dinyatakan oleh Wang Yi, "Siapakah yang masih tinggal di bumi untuk berlari, bernapas, berjalan, melompat, dan berteriak setelah penghakiman terakhir? Siapa? Hanya Gereja Yesus Kristus, dan hanya setiap anak Yesus Kristus yang menjadi anggota gereja itu" (3). Pernyataan seperti ini menunjukkan bagaimana teolog seperti S.E. Wang telah memengaruhi para pemimpin gereja rumah seperti Wang Yi dengan narasi alkitabiah yang menyatakan "eskatologi makro" di mana Allah yang berdaulat akan mencapai tujuan-Nya di dunia. 

Pada akhirnya, tulisan ini menyoroti sebuah fitur penting dari narasi agung Kitab Suci yang sering kali terlewatkan: Allah tidak membuat kesalahan. Narasi Alkitab bukanlah narasi di mana dosa membuat Allah sampai bingung, sehingga Ia harus mencari cara untuk membuat segala sesuatu berjalan dengan rencana B. Sebaliknya, seperti yang Wang tunjukkan, penyempurnaan segala sesuatu yang dijabarkan oleh Yohanes di akhir kitab Wahyu adalah tujuan dari penciptaan yang digambarkan oleh Musa di awal kitab Kejadian. Oleh karena itu, gereja tidak hadir sebagai suatu tindakan penggantian, melainkan lebih sebagai tujuan—bukan hanya bagi manusia yang jatuh dan membutuhkan penebusan, melainkan juga bagi tujuan-tujuan Allah bagi dunia, yang telah ditetapkan pada saat penciptaan.

Catatan:

  1.  Wang Yi, "Sejarah Adalah Kristus yang Ditulis Dengan Sangat Jelas," dalam Ketidaktaatan yang Setia: Tulisan-tulisan tentang Gereja dan Negara dari Gerakan Gereja Rumah Tionghoa, ed. Hannah Nation dan J. D. Tseng (Downers Grove, IL: IVP Academic, 2022), 104-124.

  2. Wang Yi, "末世论与文化使命" [Eskatologi dan Mandat Budaya], https://wangyilibrary.org/post/末世论与文化使命.

  3. Wang Yi, "让我们穿上新人 (弗 4:17-24)" [Marilah Kita Mengenakan Manusia Baru (Efesus 4:17-24)], https://wangyilibrary.org/post/让我们穿上新人.

Tentang Penulis

S.E. Wang adalah salah satu pendiri dan Direktur Konten Teologi untuk Center for House Church Theology. Sebagai generasi keenam umat Kristen dari Beijing, Tiongkok, ia menerima gelar Master of Arts dalam bidang Agama dari Westminster Theological Seminary.

Penciptaan dan Penyempurnaan: Gereja sebagai Tujuan dari Sejarah

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,

Menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia;

laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."

Berfirmanlah Allah: "Lihat, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuhn-tumbuhan hijau menjadi makanannya." Dan jadilah demikian.

Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.

-Kejadian 1:26-31

Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan laut pun tidak ada lagi. Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya. Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: "Lihatlah! Kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya, dan Ia akan menjadi Allah mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu."

Ia yang duduk di atas takhta itu berkata, "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!" Dan Firman-Nya: "Tuliskanlah, karena perkataan ini adalah tepat dan benar."

-Wahyu 21:1-5

Berangkat dari kerangka sejarah penebusan yang didasarkan pada teologi alkitabiah, Edmund P. Clowney mendeskripsikan gereja dalam istilah-istilah trinitaris yang sesuai dengan tiga pribadi Trinitas: "umat Allah," "tubuh Kristus," dan "persekutuan Roh." (1)

Studi ini menyajikan gereja sebagai tujuan dari sejarah penebusan, untuk memperkaya pemahaman kita tentang ekklesiologi. Dalam terang kehendak Allah dan perkembangan kronologis dari rencana-Nya bagi ciptaan, saya akan mencoba untuk mengeksplorasi eskatologi, yang berakar pada rancangan penciptaan-Nya, dengan menelaah Kejadian 1-2 dan Wahyu 21-22. Selain itu, dengan mengandalkan doktrin penciptaan secara holistik yang didukung oleh kerangka eskatologi, saya akan berusaha untuk menemukan kesatuan antara doktrin penciptaan dengan soteriologi dan antara antropologi dengan eklesiologi. Dari sini saya akan menunjukkan bahwa gereja bukan hanya merupakan tujuan dari sejarah, melainkan juga merupakan puncak kemanusiaan (2), penggenapan tertinggi dari rancangan awal Allah bagi ciptaan. Gereja adalah umat manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang selamanya mewakili pemerintahan-Nya yang berdaulat. Gereja adalah tujuan dari sejarah. 

Tujuan Akhir dari Penciptaan: Eskatologi Penciptaan

Dalam ranah teologi Kristen, doktrin penciptaan sering kali hampir seluruhnya digali dari dua pasal pertama kitab Kejadian. Meskipun struktur narasi sastra kitab Kejadian dibingkai dalam urutan kronologis, tetapi narasi itu sendiri tidak ditulis semata-mata untuk mencatat urutan kronologi penciptaan, melainkan untuk menyoroti penciptaan manusia, yang merupakan pusat dari semua ciptaan Allah. Umat manusia adalah objek dari kehendak Allah. Dari perspektif teologis, antropologi adalah pusat dari doktrin penciptaan.  

Manusia adalah Pusat Penciptaan

Dalam Kejadian 1, terdapat tujuh narasi penciptaan, dan penciptaan manusia di ayat 26-31 adalah yang terpanjang dari antara semuanya. Dalam keenam ayat ini, Allah menyatakan struktur hubungan antara Allah dan manusia dan antara manusia dan ciptaan melalui penyataan kehendak-Nya atas ciptaan, yaitu melalui tindakan penciptaan-Nya, dan melalui segala perintah-Nya kepada manusia (dan semua makhluk ciptaan lainnya). Sebagai Pencipta segala sesuatu, Allah memiliki otoritas tertinggi, dan manusia, sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, harus tunduk kepada Allah di satu sisi dan mewakili-Nya di sisi lain, dengan setia menggunakan otoritas yang telah Allah berikan kepadanya untuk berkuasa atas seluruh bumi dan segala isinya, yang telah Allah percayakan kepadanya. Inilah kehendak Allah dalam menciptakan segala sesuatu dan dalam menciptakan manusia. 

Kejadian 1:26-31 dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, ayat 26, mengungkapkan kehendak dan tujuan Allah yang dinyatakan sendiri bagi penciptaan. Bagian kedua, ayat 27-30, mencatat tindakan-tindakan penciptaan yang spesifik yang Allah lakukan untuk menggenapi rencana tersebut. Ayat 27 menjelaskan karya spesifik Allah dalam menciptakan manusia. Ayat 28-30 mencatat perintah dan petunjuk langsung Allah kepada manusia (dan umat manusia), yang menjelaskan lebih lanjut bagaimana Allah akan menyelesaikan karya penciptaan-Nya. Umat manusia menggenapi kehendak utama Allah bagi penciptaan dengan menerima misi yang telah diberikan Allah kepadanya, secara aktif menaati segala perintah-Nya, dan melaksanakan rencana Dia—beranak cucu dan bertambah banyak, memenuhi bumi dan menaklukkannya, serta berkuasa atas segala sesuatu. Bagian ketiga, ayat 31, berisi penilaian Allah terhadap ciptaan.

Manusia Diciptakan Menurut Gambar Allah

Dibandingkan dengan enam narasi penciptaan sebelumnya, ayat 26-31 memiliki keunikan tersendiri. Dalam ayat 26, Allah, sebagai agen penciptaan yang memberi perintah, tidak secara otoritatif berbicara kepada objek penciptaan dan mencipta melalui firman-Nya. Sebaliknya, Ia berbicara kepada diri-Nya sendiri dan menunjukkan diri dari sudut pandang subjektif untuk menyatakan kehendak dan tujuan-Nya menciptakan manusia—yaitu untuk menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Penyataan Allah tentang diri-Nya sebagai "Kita" dan frasa "gambar dan rupa Kita" menunjukkan hubungan pribadi yang sesuai antara Allah dan manusia yang diciptakan. Dialah yang sejak mula berfirman dan menciptakan makhluk ciptaan menurut gambar dan rupa-Nya. Allah, melalui rupa-Nya sendiri, menyatakan kehendak-Nya bagi makhluk ciptaan yang keserupaannya sesuai dengan-Nya, yang menandakan adanya kemunculan dari pribadi yang lain. Struktur ini tidak muncul dalam enam narasi penciptaan sebelumnya, dan juga tidak mungkin terjadi.   

Dengan melihat keseluruhan ayat ini, kita dapat melihat bahwa Allah akan menciptakan manusia seutuhnya ("mereka") menurut "gambar dan rupa Kita." Umat manusia secara keseluruhan adalah gambar dan rupa Allah. Sebagai sebuah komunitas, umat manusia menyelesaikan pekerjaan untuk menjalankan kekuasaan atas bumi dan segala sesuatu. Ketika kita berbicara tentang gambar dan rupa Allah, kita sering kali mengartikannya sebagai manusia sebagai individu, tetapi cara ayat 26 ditulis secara keseluruhan mengungkapkan bahwa "gambar" dan "rupa" ini tidak hanya merujuk kepada manusia secara individu melainkan juga kepada manusia secara keseluruhan. Ketritunggalan Allah bersesuaian dengan ke-bhineka-tunggal-ika-an manusia. Oleh karena itu, manusia berkuasa atas bumi seperti Allah. 

Tujuan Allah Menciptakan Umat Manusia: Menjalankan Kekuasaan

Tujuan Allah menciptakan manusia adalah untuk memberi mereka otoritas dan misi untuk berkuasa atas "seluruh bumi" dan atas semua makhluk hidup (ayat 26 dan 28). Struktur ayat 26 menempatkan manusia pada posisi di antara Allah sendiri dan makhluk-makhluk lain serta memberinya tanggung jawab untuk memerintah (secara otoritatif) atas segala sesuatu. Inilah tujuan Allah menciptakan manusia. Meskipun tidak dinyatakan secara langsung, kata "gambar" dan "rupa" dalam kalimat ini menyiratkan beberapa hal: 

  1. Hanya mereka yang memiliki gambar Allah yang punya kemampuan untuk menjalankan kekuasaan; 

  2. Penciptaan manusia dan kemampuannya untuk menjalankan kekuasaan atas bumi dan segala isinya adalah manifestasi spesifik dari gambar dan rupa Allah; 

  3. Fakta bahwa manusia berkuasa atas segala sesuatu karena ia "serupa" Tuhan, menunjukkan bahwa ia menjalankan kekuasaan sebagai representasi dari Sang Pencipta segalanya; 

  4. Karena memiliki gambar dan rupa Allah dan telah diberi otoritas oleh Allah untuk memerintah atas segala sesuatu, maka manusia harus tunduk pada otoritas dan pemerintahan Allah seperti halnya segala sesuatu lainnya dan memenuhi misi yang telah diberikan kepadanya.  

Allah Menciptakan Komunitas untuk Menyatakan Gambar-Nya

Ayat 27 merangkum tindakan penciptaan spesifik yang Allah lakukan untuk menggenapi kehendak-Nya dalam menciptakan manusia. Pada satu sisi, struktur kiastik dari paruh pertama ayat ini menekankan kembali posisi penting yang dinikmati oleh manusia sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Pada sisi lain, ayat ini juga mengungkapkan bahwa gambar Allah mencakup laki-laki dan perempuan. Sebagai manusia, baik laki-laki maupun perempuan pada hakikatnya memiliki gambar Allah. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan di antara kedua jenis kelamin. Pada saat yang sama, hal ini menyingkapkan kebenaran yang sama pentingnya tetapi sering kali diabaikan, yaitu bahwa tidak hanya seorang manusia (laki-laki atau perempuan) yang memiliki gambar Allah secara individual, tetapi komunitas yang dibentuk oleh persatuan laki-laki dan perempuan juga memiliki gambar tersebut pada tingkat yang lain. (3) Sebagai makhluk ciptaan yang memiliki gambar Allah, manusia adalah individu sekaligus sebuah komunitas. 

Rencana Allah dalam ayat 26 untuk "menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita, menurut gambar dan rupa kita" berkaitan dengan "menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka" dalam ayat 27 dan "Allah memberkati mereka... dan berfirman kepada mereka: 'Beranakcuculah dan bertambah banyak dan penuhilah bumi'" dalam ayat 28. Dengan kata lain, kehendak dan rencana kekal Allah bagi penciptaan yang dinyatakan dalam ayat 26 dicapai dalam tiga langkah: 1) Allah sendiri yang secara aktif menciptakan laki-laki dan perempuan; 2) Allah memberkati mereka; 3) Allah memerintahkan mereka untuk beranak cucu dan bertambah banyak sehingga mereka dapat memenuhi bumi. Melalui tindakan spesifik Allah dalam menciptakan manusia menurut gambar-Nya, kata "penciptaan" memiliki makna ganda. Kata ini dapat secara sempit merujuk kepada tindakan penciptaan Allah sendiri secara pribadi secara ex nihilo, yaitu "pekerjaan" yang disebutkan dalam Kejadian 2:2-3. Tetapi kata ini juga dapat merujuk secara lebih luas kepada penyelesaian dari seluruh karya penciptaan-Nya yang disebutkan dalam ayat 26, termasuk karya-karya-Nya yang aktif dan perintah-perintah-Nya kepada manusia (untuk "beranakcuculah dan bertambah banyak dan penuhilah bumi"), dan juga ketaatan para pembawa gambar-Nya terhadap dan pemenuhan perintah-perintah ini. Dalam hal ini, "beranakcuculah dan bertambah banyak dan penuhilah bumi" adalah salah satu aspek dari makna yang lebih luas dari ciptaan Tuhan. Ini adalah cara spesifik di mana Dia menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Allah secara aktif memerintahkan manusia di satu sisi, dan manusia secara aktif menaati di sisi lain. Dengan secara aktif menaati perintah Allah melalui "kesuburan" biologis dan budaya, manusia "menaklukkan" bumi sebagai wakil Allah dan mencapai tujuan dari penciptaan mereka sendiri dan penciptaan Allah atas manusia dan segala sesuatu.  

Tuhan dan Umat Manusia Akan Mencapai Tujuan Tuhan Bersama-sama

Paruh pertama dari ayat 28 memiliki struktur yang mirip dengan ayat 22, yang mencatat berkat Allah dan perintah-Nya kepada ciptaan - "beranakcuculah dan bertambah banyak." (4) Namun satu detail yang berbeda adalah bahwa perintah Allah dalam ayat 28 mengandung objek tidak langsung "Allah berfirman kepada mereka"—Adam dan Hawa, sedangkan ayat 22 tidak memiliki objek tidak langsung ("Allah memberkati semua itu, firman-Nya..."). Selain itu, pada paruh kedua ayat 28, Allah berbicara kepada Adam dan Hawa dalam bentuk perintah, mengulangi kehendak-Nya atas ciptaan yang disebutkan dalam ayat 26—bahwa mereka akan secara aktif berkuasa atas segala sesuatu. Dalam Alkitab, isi dari interaksi pribadi yang pertama antara Allah dengan Adam dan Hawa adalah tentang menyelesaikan rencana Allah atas ciptaan, dan itu berbentuk perintah. Hal ini sangat gamblang. Jika kita membandingkan bagian ini dengan enam narasi penciptaan sebelumnya, kita dapat melihat bahwa interaksi pribadi yang unik dan krusial antara Tuhan dan manusia ini merupakan karakteristik khusus dari manusia yang diciptakan seturut gambar dan rupa Tuhan, dan ini adalah hasil dari statusnya yang istimewa. Ketika Allah, yang secara aktif mencipta, memberi perintah kepada agen lain yang juga dapat secara aktif mencipta, hal ini menunjukkan semacam kerja sama pribadi. (5)

Ketika Dia yang secara aktif menciptakan dan memerintah berbicara kepada orang yang menyandang gambar-Nya, maka Dia berharap dan menantikan agar ciptaan-Nya itu mau mendengarkan-Nya dan bertindak berdasarkan firman-Nya. Pada saat yang sama, adalah tugas manusia, sebagai gambar Allah yang diciptakan, untuk mendengarkan dan menaati-Nya. Hal ini juga merupakan penyempurnaan dan penggenapan dari gambar tersebut. Karya Allah yang aktif dan kreatif, bersama dengan segala perintah-Nya dan ketaatan manusia yang terus-menerus serta aktif terhadap misi ini, memenuhi mandat penciptaan dari Allah.  

Ketegangan Eskatologis dalam Penciptaan

Dalam keseluruhan rencana dan urutan penciptaan Allah yang dinyatakan dalam ayat 26, terdapat kesenjangan antara manusia yang berkuasa atas bumi serta memerintah segala sesuatu di satu sisi, dan karya penciptaan Allah yang aktif di sisi lain. 

Tindakan langsung dari Tuhan dalam menciptakan laki-laki dan perempuan tidak sepenuhnya menggenapi seluruh kehendak-Nya atas penciptaan (yaitu untuk menciptakan manusia seutuhnya menurut gambar dan rupa-Nya dan berkuasa atas segala sesuatu serta memerintah seluruh bumi). Kesenjangan ini harus diisi oleh manusia melalui ketaatannya yang aktif dan menyelesaikan perintah-perintah Allah di sepanjang sejarah. Laki-laki dan perempuan yang diciptakan harus bekerja sama dengan Allah untuk mencapai kehendak-Nya bagi ciptaan.

Rencana penciptaan ini telah digenapi sebagian, tetapi tidak seluruhnya. Para penyandang gambar Allah bertanggung jawab untuk menyelesaikan karya ini dari waktu ke waktu melalui ketaatan yang aktif. Hal ini menciptakan ketegangan yang pada dasarnya adalah semacam kerja sama pribadi yang terjadi dalam ruang dan waktu. Ketegangan ini menunjuk pada akhir historis dari rencana Allah bagi ciptaan seperti yang dinyatakan dalam ayat 26—penggenapan akhir dari kehendak-Nya bagi ciptaan. Di sinilah eskatologi mulai muncul. Ketegangan yang kita temukan dalam diri Allah yang mulai menggenapi kehendak-Nya bagi ciptaan tetapi belum menggenapinya, dan ketegangan yang kita temukan dalam kerja sama pribadi antara Allah Pencipta dengan para penyandang gambar-Nya yang diciptakan melalui perintah-perintah-Nya kepada mereka, keduanya menciptakan semacam ketegangan abadi, yang dapat kita sebut sebagai ketegangan eskatologis. Ini juga merupakan semacam ketegangan eksistensial dan etis. Dari sini, kita dapat melihat bahwa eskatologi berakar kuat pada ciptaan Allah dan berasal dari kehendak Allah yang belum terpenuhi bagi ciptaan. Alasan eskatologi ada adalah karena karya penciptaan belum selesai. 

Pemeliharaan Allah yang Berkelanjutan bagi Umat Manusia

Agar manusia dan segala sesuatu dapat memenuhi perintah Allah (penciptaan dan kekuasaan), ayat 29-30 merinci berkat-berkat apa yang Allah berikan kepadanya—pemenuhan kebutuhan secara materi. Aspek penting dari penciptaan ini juga menciptakan batasan-batasan di sekitar kewenangan dan kekuasaan manusia. Jika Allah memberikan sayur-sayuran dan buah-buahan kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, bagaimana Dia menyediakan kebutuhan rohani bagi mereka yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, yang secara aktif akan menaati segala perintah-Nya? Penyediaan ini berulang kali muncul dalam ayat 28-30—Tuhan memimpin mereka dengan kehadiran dan firman-Nya. Melalui kehadiran dan firman Allah, manusia memahami kehendak Allah. Tuhan yang menyatakan dan memerintahkan dalam ayat 28, Allah yang memanggil Adam dan Hawa dengan sebutan "mereka," bertemu mereka muka dengan muka di ayat 29 dan secara langsung menyapa mereka dengan sebutan "engkau," menjadi sahabat yang akrab dan personal. Dari dalam hati "Kita" yang muncul di ayat 26, muncullah "kamu" yang dikasihi Allah.

Meskipun proses Allah menciptakan manusia sangat berbeda dengan enam ciptaan sebelumnya, Alkitab masih memakai frasa yang sama untuk menyimpulkannya: "Dan jadilah demikian." Allah berfirman, "Jadilah," maka terjadilah. Dia memerintahkan, dan jadilah demikian. Ketika Allah menetapkan hati-Nya untuk melakukan sesuatu, Ia akan menyelesaikannya, terlepas dari bagaimana cara Dia melakukannya. Ketika Allah memeriksa semua ciptaan-Nya di ayat 31, Ia mengatakan bahwa semuanya "sungguh amat baik," meskipun pemandangan terakhir yang digambarkan di ayat 26 belum menjadi kenyataan, karena segala sesuatu bergantung pada kehendak-Nya dan akan berkembang sesuai dengan rencana-Nya.

Kejadian 2:1-3 merangkum seluruh penciptaan langit dan bumi dari pasal pertama. Setelah Tuhan menyelesaikan tindakan penciptaan-Nya secara langsung, hari ketujuh pun dimulai-dan hari itu sangat berbeda. Pada hari ketujuh, Allah tidak lagi terlibat dalam penciptaan langsung secara ex nihilo. Ia beristirahat dari pekerjaan-Nya. Sejak saat itu, manusia yang diciptakan-Nya itulah yang harus secara aktif menaati-Nya dan menyelesaikan karya penciptaan-Nya. Dalam pengertian ini, manusia—gambar dan rupa Allah yang dengan menaati Allah menggenapi rencana penciptaan dan kekuasaan-Nya—menjadi tempat peristirahatan Allah. Tuhan beristirahat karena manusia akan melanjutkan pekerjaan Tuhan. Tuhan beristirahat di antara manusia saat kita bekerja, dan manusia bekerja sambil beristirahat di dalam Tuhan. 

Taman Eden: Tempat Kelahiran dan Perkembangan Umat Manusia

Struktur Kejadian 1:26-31 memberi kita gambaran yang lebih rinci dan dramatis tentang penciptaan di mana manusia sepenuhnya berada tepat di pusatnya. Ini menyoroti kehadiran Allah dan perhatian-Nya yang sangat teliti terhadap umat manusia. Kejadian 2:4-25 memberikan catatan lain tentang karya penciptaan Allah yang disebutkan dalam Kejadian 1:27-30, kali ini berfokus pada taman Eden.  

Pemeliharaan Tuhan

Allah menempatkan manusia di taman yang telah dipersiapkan dengan baik dan memberinya persediaan makanan yang cukup (ayat 8-14). Pohon-pohon yang indah memenuhi taman itu, memenuhi kebutuhanmanusia akan estetika dan menghasilkan buah untuk menopang hidup mereka. Taman itu memiliki mata air, sungai yang menyuburkan taman, serta emas dan batu-batu mulia. Semua hal ini melambangkan pemeliharaan yang berlimpah dari Tuhan. Ayat 8 dan 15 menyatakan bahwa Tuhan menempatkan manusia di taman Eden. Ayat 9-14, yang diapit di antara keduanya, menyoroti kekayaan taman itu. 

Yang lebih penting lagi, taman Eden adalah tamannya Allah. Pada dasarnya, taman ini seperti sebuah kemah suci atau bait suci tempat Allah berdiam. Allah menempatkan manusia di tempat kediaman-Nya sendiri, rumah-Nya sendiri. Rumah Allah adalah rumah umat manusia.

Manusia: Penjaga Taman

Sejalan dengan karya penciptaan Allah yang aktif, maka yang memelihara dan mengusahakan taman itu adalah para penyandang gambar-Nya (ayat 15-17). Salah satu aspek penting dari pekerjaan dan pemeliharaan taman ini adalah menjaga "pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat." Pohon itu tidak boleh dimakan, dan orang yang harus dijaga agar tidak memakan buah pohon itu adalah manusia itu sendiri. Karena perintah Tuhan ini, maka manusia memainkan peran ganda, sebagai penjaga dan (berpotensi) pelanggar.  

Taman Allah bukan hanya tempat di mana manusia diberi makan dan bertumbuh. Taman ini juga merupakan lahan yang harus dipelihara dan dijaga. Di bawah naungan pemeliharaan Tuhan, taman itu adalah pelindung bagi manusia, dan juga dilindungi oleh manusia di bawah kekuasaan-Nya. Pada saat yang sama, ketika manusia menjaga pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, mereka juga menjaga kemanusiaan mereka sendiri, yang menyandang gambar dan rupa Tuhan. Bahkan, , inilah hal terpenting yang dijaga oleh Adam dan Hawa di taman Tuhan ini. 

Dari perspektif penciptaan, penjagaan manusia terhadap umat manusia yang diciptakan dan taman Allah, serta ketaatannya pada perintah Allah, merupakan cara Allah untuk melindunginya melalui dunia ciptaan. Hubungan yang bersifat pribadi, kooperatif, dan penuh kasih ini dinyatakan dalam ruang dan waktu melalui pemenuhan perintah-perintah khusus untuk dilindungi dan ditaati. Tuhan, taman, dan manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah menjadi semacam komunitas yang dijaga. Akankah manusia melindungi tempat mereka di dalam komunitas ini, atau akankah mereka memisahkan diri darinya? Akankah mereka percaya dan menaati Allah yang menciptakan mereka, yang menyediakan kebutuhan mereka, dan yang memerintahkan mereka, agar menjadi penjaga yang taat? Atau akankah mereka tidak menaati kehendak Tuhan dan menjadi pelanggar di taman itu? Dalam terang perintah Allah dalam Kejadian 1:28-30 dan ketegangan eskatologis dari penciptaan, perintah dalam Kejadian 2:16-17 dan kemampuan manusia untuk memilih, memaksa mereka untuk mengambil keputusan: apakah mereka akan menjadi penjaga yang menggenapi kehendak dan tujuan Allah bagi penciptaan, atau apakah mereka akan meninggalkan semuanya dan menjadi pengkhianat? Ayat 16-17 secara signifikan meningkatkan ketegangan eskatologis dari doktrin penciptaan.

Taman Eden juga merupakan tempat Adam mulai berlatih untuk menjalankan kekuasaan (ayat 19-20). Ia menjalankan otoritas ini di hadapan Allah yang intim dan di bawah bimbingan-Nya. Penamaan binatang-binatang itu merupakan ekspresi dari otoritasnya. 

Seorang Mitra dan Pujian

Ayat 18 dan 19b-25 adalah nyanyian manusia. Nyanyian ini dimulai dari Tuhan. Allah menciptakan seorang perempuan untuk melengkapi penciptaan umat manusia, dan setelah Dia menciptakan perempuan, sang laki-laki melantunkan sebuah nyanyian yang bergema di seluruh alam semesta dan terus memuncak menjadi penyembahan. Tuhan kini telah menyelesaikan penciptaan atas manusia—laki-laki dan perempuan, yang akan menghasilkan seluruh umat manusia dan membawa di dalam diri mereka potensi yang luar biasa dari seluruh umat manusia. Lagu yang dinyanyikan sang laki-laki untuk merespons istrinya dengan penuh kemuliaan mengungkapkan hubungan interpersonal mereka. Lagu ini mengungkapkan kegembiraan, perayaan, dan sukacita. Selain itu, persatuan mereka yang telah ditentukan sebelumnya menjadi satu daging mengungkapkan pola dasar gambar dan rupa Allah sendiri, dan dengan demikian mereka sendiri menjadi semacam pujian bagi Allah. (6) Penolong manusia hadir untuk menggenapi kehendak Allah bagi ciptaan. Keduanya bersukacita satu sama lain dan bersorak-sorai di dalam Allah. Umat manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, pada akhirnya menjadi semacam orasi dan pujian bagi Allah, menggenapi kehendak Allah bagi penciptaan di dalam Kejadian 1:26. 

Dengan latar belakang rencana Allah dalam Kejadian 1:26, akhir dari pasal 2 menciptakan ketegangan dan tekanan yang luar biasa, yang semakin memperkaya natur eskatologis dari penciptaan. Akankah manusia menaati perintah Allah untuk "beranak cucu dan bertambah banyak dan memenuhi bumi," sehingga menggenapi rencana penciptaan Allah dalam Kejadian 1:26? Akankah mereka menjaga pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat sesuai dengan perintah Allah dan menjadi penjaga Allah, taman, dan umat manusia? Seperti apakah wujud akhir umat manusia, dan seperti apakah kekuasaan dan perlindungan mereka atas bumi dan segala isinya? 

Dalam pasal 3, Adam dan Hawa meninggalkan "komunitas" Allah, taman, dan umat manusia, dan berubah dari penjaga menjadi pelanggar. Mereka mengasingkan diri, menjahit cawat untuk menutupi ketelanjangan mereka dan bersembunyi dari Tuhan, yang secara tiba-tiba mengakhiri harapan dari pasal 1 dan 2. Pada akhirnya, di bawah penghakiman Allah, mereka diusir dari taman Allah dan dari hadapan Allah. Sejak saat itu, setelah pasal 2, umat manusia jatuh dari firdaus yang pernah bergema dengan nyanyian manusia ke dalam dunia debu yang hampa dari kehadiran Tuhan. Peradaban yang dibangun oleh umat manusia tanpa kehadiran Allah tidak akan pernah bisa menjadi kota kemuliaan yang kekal. Paling-paling, itu hanya bisa menjadi tempat berlindung sementara dalam kegelapan di sisi luar kota. 

Apa yang akan terjadi dengan para penyandang gambar Allah ini? Masih bisakah kehendak dan rencana Tuhan digenapi? Akankah "jadilah demikian" yang dinyatakan dalam Kejadian 1:30 benar-benar menjadi kenyataan? Di sinilah sejarah penebusan, yang berasal dari kasih Allah yang tidak pernah berkesudahan, dimulai. (7)

Penyempurnaan Ciptaan Allah di Kitab Wahyu

Doktrin penciptaan tidak hanya bergantung pada dua pasal pertama dari kitab Kejadian, tetapi juga pada dua pasal terakhir dari kitab Wahyu, khususnya Wahyu 21:1-22:5. Pasal-pasal pertama dan terakhir dari Alkitab melengkapi seluruh narasi penciptaan. Pasal-pasal pertama menyoroti kehendak dan rencana Allah bagi penciptaan, menjelaskan tindakan penciptaan-Nya yang pertama, dan mencatat perintah-perintah yang Dia berikan kepada mereka yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya agar mereka dapat menyelesaikan karya penciptaan-Nya. Dua pasal terakhir dalam Alkitab mengungkapkan gambaran eskatologis tentang penyempurnaan rencana Allah bagi penciptaan. Kedua pasal ini merupakan kelanjutan dari nyanyian manusia yang digambarkan pada akhir Kejadian 2, sebuah nyanyian yang berubah menjadi penyembahan abadi kepada Allah. Pasal-pasal ini juga memberikan pengharapan yang luar biasa kepada manusia yang hidup dalam ketegangan eskatologis saat ini. Pentingnya dua pasal terakhir dari kitab Wahyu bagi doktrin penciptaan telah lama diabaikan. Pasal-pasal ini seharusnya dianggap sama pentingnya untuk memahami penciptaan seperti halnya dua pasal pertama dari kitab Kejadian. 

Kedatangan Eskhaton yang Paripurna: Penyempurnaan Penciptaan

Kejadian 1:1: "Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi," sesuai dengan Wahyu 21:1: "Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan laut pun tidak ada lagi." Kata "baru" (καινός) dalam frasa "langit yang baru dan bumi yang baru" sesuai dengan kata "pertama" (πρῶτος, yang juga dapat diterjemahkan sebagai "awal"). Kata ini berarti "baru" dalam pengertian eskatologis. "Kebaruan" eskatologis ini hadir dalam bentuk "langit dan bumi" yang luas, yang mencerminkan ciptaan Allah yang orisinal. Ini menandakan kedatangan eskhaton yang final dan paripurna serta penyelesaian akhir dari ciptaan Allah yang orisinal. Sebelum Kejatuhan manusia dalam dosa, frasa "pada mulanya" menunjuk pada suatu "akhir." Dan setelah kejatuhan, kita melihat pengharapan akan "kebaruan" ("hati yang baru", "roh yang baru", "hari yang baru", "ciptaan baru", dan lain-lain). Pengharapan-pengharapan ini akhirnya terwujud dalam hadirnya "langit yang baru dan bumi yang baru" secara eskatologis.

Penggenapan Keselamatan yang Paripurna

Dalam konteks "langit yang baru dan bumi yang baru," Yohanes melihat sebuah penglihatan yang dinyatakan kepadanya: "Dan aku melihat kota kudus, Yerusalem baru, turun dari surga, dari Allah, berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya" (Wahyu 21:2). Sebuah suara dari takhta kemudian menjelaskan arti dari wahyu ini dengan jelas: "Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya" (Wahyu 21:3). Frasa "kemah Allah" mengacu pada Yerusalem baru yang turun dari surga, dari Allah. Kota suci itu menjadi kemah terakhir Allah, kediaman terakhir-Nya, tempat peristirahatan terakhir-Nya. Bandingkan frasa "Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya" dengan ayat 7: "Barangsiapa menang, ia akan memperoleh semuanya ini, dan Aku akan menjadi Allahnya dan ia akan menjadi anak-Ku." Ayat-ayat ini tidak diragukan lagi mengungkapkan penggenapan akhir dari kovenan anugerah dan kedatangan yang paripurna dari apa yang dijanjikan Allah: "Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku."  

Inkarnasi Yesus sebagai "Imanuel" pada akhirnya digenapi di kota suci ini, Yerusalem yang baru. Sejak saat itu tidak akan ada lagi lautan, dan tidak akan ada lagi air mata, kematian, perkabungan, ratap tangis, atau penderitaan, karena keselamatan telah sepenuhnya digenapi. Dia yang duduk di atas takhta itu berkata: "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru" (Wahyu 21:5). "Kebaruan" dalam Wahyu tidak hanya mengacu pada penciptaan awal dan penggenapannya di dalam eskhaton, tetapi juga pada penggenapan keselamatan yang paripurna. 



Yerusalem Baru Adalah Gereja yang Disempurnakan

Yerusalem baru adalah "pengantin perempuan," istri dari "Anak Domba." Dalam Efesus 5, hubungan antara suami dan istri dalam pernikahan menunjukkan misteri hubungan Kristus dengan gereja-Nya. Di sini, Anak Domba adalah Kristus, dan pengantin perempuan—Yerusalem baru—adalah gereja yang akhirnya disempurnakan. Orang-orang yang dipilih Allah di sepanjang sejarah penebusan pada akhirnya akan menjadi sebuah kota. (8)

Elemen mendasar dari kota ini adalah umat manusia. Pada gerbang kota tertulis nama dua belas suku Israel dalam Perjanjian Lama, dan pada fondasi tembok kota tertulis nama dua belas rasul dalam Perjanjian Baru. Ada dua gambaran yang muncul di benak kita dari deskripsi ini. Yang pertama adalah dua belas suku Israel yang berdiri di depan Gunung Sinai untuk membuat kovenan dengan Allah. Allah akan menyertai mereka—Ia akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Nya. Mereka adalah jemaat yang terdiri dari pria dan wanita yang dipilih oleh Allah untuk melayani Dia—sebuah komunitas manusia yang menjadi milik Allah. Gambaran lainnya adalah Yesus berbicara di daerah Kaisarea Filipi kepada para rasul-Nya, yang diwakili oleh Petrus: "Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku." Gereja Perjanjian Baru adalah jemaat milik Yesus Kristus, dan jemaat ini memiliki kontinuitas dan diskontinuitas dengan umat Allah di Perjanjian Lama. Inilah umat yang dipisahkan melalui pribadi dan karya Kristus di kayu salib berdasarkan karya penebusan dan wahyu Allah dalam Perjanjian Lama. 

Apa yang Tuhan ciptakan melalui karya keselamatan-Nya dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah sebuah kota manusia yang berasal dari dan menjadi milik surga. Kota kudus yang dibangun di atas dua belas suku dan dua belas rasul yang lengkap ini adalah kemanusiaan yang paripurna. Gambaran ini pada intinya menunjuk pada komunitas manusia. Kota kudus dengan panjang, lebar, dan tinggi yang sama ini pada dasarnya adalah tempat yang paling kudus dalam Perjanjian Lama di mana Allah bersemayam (1 Raj. 6:20). Kota ini adalah sebuah kota bait suci. Akan tetapi tidak ada bait suci di kota ini, karena Anak Dombalah yang menjadi bait sucinya, tempat kediaman yang menghubungkan Allah dan manusia. Pada satu sisi, kota kudus dan tempat maha kudus menjadi satu. Semua dosa yang memisahkan manusia dari Allah telah sepenuhnya dilenyapkan, dan pengudusan yang sejati telah digenapi. Pada sisi lain, Firman telah menjadi daging—keilahian dan kemanusiaan telah dipersatukan dalam pribadi Kristus. Allah beserta dengan manusia. Kesatuan yang utuh antara Allah, kota kudus, dan umat manusia telah menjadi sebuah komunitas yang tidak lagi terpisah atau terbagi. Allah akan berdiam selamanya di tengah umat-Nya.  

Kota Terakhir Manusia adalah Penyempurnaan Kehendak Allah atas Penciptaan

Yerusalem baru bukan hanya merupakan penyempurnaan dari keselamatan Allah, tetapi juga penyempurnaan dari kehendak dan rencana-Nya atas penciptaan. Ini adalah kota terakhir bagi umat manusia—mereka yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya. Kota manusia ini bukan hanya sebuah kota yang terdiri dari umat pilihan Allah. Kota ini juga merupakan umat manusia sebagaimana dinyatakan dalam kehendak dan rencana Allah bagi penciptaan dalam Kejadian 1:26—penggenapan "mereka" yang diciptakan menurut "gambar dan rupa Kita." 

Hanya mereka yang sesuai dengan gambar dan rupa Allah yang merupakan manusia sejati. Bandingkan kemuliaan pengantin Anak Domba yang dinyatakan kepada Yohanes melalui malaikat dalam Wahyu 21-22 dengan penghakiman atas "pelacur besar" yang dinyatakan kepadanya dalam pasal 17. Pelacur besar itu bersatu dengan seekor binatang. Dia adalah Babel besar yang ada di bumi (Wahyu 17:5). Komunitas yang terdiri dari Allah, Yerusalem baru, dan umat-Nya yang diwakili oleh pengantin perempuan dalam pasal 21 berbeda dengan komunitas yang terdiri dari binatang buas, Babel, dan rakyatnya dalam pasal 17. Yang pertama adalah kota yang mulia yang menyandang nama semua penghuninya (diwakili oleh suku-suku dan rasul-rasul). Kota ini jernih, cerah, dan penuh sukacita. Kota ini bersatu dengan Allah, dan penduduknya memiliki serta mencerminkan gambar Allah. Mereka adalah orang-orang yang ada dalam pikiran Allah untuk diciptakan. Yang terakhir adalah kota kebinasaan yang najis, keji, tidak bermoral, dan penuh pemberontakan. Kota itu bersatu dengan binatang itu, dan gambar Allah di dalamnya terus berkurang sampai kota itu runtuh dan menjadi tempat tinggal setan-setan (Wahyu 18:2). Manusia di sana bukan lagi manusia. Tindakan Allah memilih dan memisahkan dua jenis manusia di sepanjang sejarah adalah proses penebusan dan proses penggenapan rencana-Nya atas penciptaan. Tujuan akhir-Nya adalah untuk menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri sesuai dengan kehendak-Nya. Sejarah penebusan adalah sejarah penciptaan. 

Semua elemen dari taman Eden yang orisinal muncul dalam bentuk yang sempurna di Yerusalem yang baru. Taman Allah pada akhirnya diubah menjadi kota umat manusia yang sempurna, yang merupakan penyempurnaan dari penciptaan. Pasokan emas dan batu-batu mulia yang melimpah di taman tersebut diubah menjadi tembok dan jalan-jalan di Yerusalem baru, dan semuanya itu sangat megah. Sungai yang mengalir keluar dari Eden dan mengairi taman itu menjadi sungai kehidupan yang mengalir dari takhta Allah dan Anak Domba. Buah yang sedap dipandang dan baik untuk dimakan menjadi pohon kehidupan yang menghasilkan dua belas jenis buah. Daun-daun yang dipakai untuk menutupi ketelanjangan manusia di Kejadian 3, kini menjadi obat untuk memenuhi kebutuhan mereka yang sebenarnya.

Namun, perintah untuk "beranakcuculah dan bertambah banyak," perintah yang berulang kali muncul di kitab Kejadian dan di seluruh Perjanjian Lama serta Perjanjian Baru, tidak disebutkan dalam Yerusalem baru. Tembok kota, yang melambangkan komunitas manusia terakhir, berukuran 144 hasta (yang merupakan angka kesempurnaan, 12 × 12), dan orang-orang kudus berulang kali muncul dalam Wahyu dalam kumpulan 144.000 orang. Laki-laki dan perempuan yang ada di benak Allah untuk diciptakan—orang-orang kudus yang namanya tertulis di dalam kitab kehidupan—telah diciptakan melalui "beranakcuculah dan bertambah banyak." Jadi perintah Allah ini telah digenapi. 

Pohon kehidupan yang ada di taman Eden juga ada di kota ini, tetapi kita tidak menemukan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Hal ini karena perintah Allah untuk menjaga umat manusia telah terlaksana. Umat manusia telah menjadi dewasa dan disempurnakan. Sebagai ganti pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, kita melihat sesuatu yang tidak ada di taman Eden: Anak Domba yang telah disembelih. Dia diasingkan dari taman ke padang gurun, melawan godaan Iblis, dan menjaga kemanusiaan-Nya sendiri. Melalui doa di taman Getsemani, Dia berjalan menuju salib, dan di atas kayu salib itu Dia menyelamatkan umat manusia yang terhilang. Kemudian, pada suatu pagi di sebuah kubur, Ia menyempurnakan umat manusia untuk selamanya melalui kebangkitan-Nya yang penuh kemenangan. Anak Domba yang tidak bercacat telah berjalan melalui padang gurun umat manusia yang telah jatuh dalam dosa, dan melalui kematian serta kebangkitan-Nya, melalui perlindungan, keselamatan, dan penciptaan kembali oleh-Nya, Ia menyempurnakan manusia dan mengubah kubur umat manusia menjadi taman surga. 

Umat manusia, yang kini disempurnakan oleh Anak Domba, sepenuhnya mencerminkan gambar dan rupa Allah: "nama-Nya akan tertulis di dahi mereka" (Wahyu 22:4). Mereka tidak akan pernah lagi meninggalkan wajah Allah: "Dan malam tidak akan ada lagi, dan mereka tidak memerlukan cahaya matahari, sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka" (Wahyu 22:5). Manusia yang menjalankan kekuasaan di taman Eden, menjaga dan mengusahakan taman itu, serta memberikan nama kepada binatang-binatang pada akhirnya disempurnakan sehingga manusia sekarang "memerintah" sebagai raja dan berkuasa atas seluruh bumi (langit yang baru dan bumi yang baru), serta memerintah selama-lamanya (Wahyu 22:5). Sekarang rencana Allah bagi ciptaan-Nya telah digenapi. "Ia yang duduk di atas takhta itu berkata: 'Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru.' Dan firman-Nya: 'Tuliskanlah, karena segala perkataan ini adalah tepat dan benar'" (Wahyu 21:5). Dan pernyataan dalam Kejadian 1:30 akhirnya digenapi: "Dan jadilah demikian."

Gereja adalah Tujuan dari Sejarah

Taman Eden adalah tempat kelahiran dan pertumbuhan umat manusia. Yerusalem baru adalah umat manusia yang telah bertumbuh dan disempurnakan. Akhir dari keselamatan adalah penyempurnaan penciptaan. Penciptaan menghasilkan keselamatan, dan keselamatan menyempurnakan penciptaan. 

Dalam struktur yang diungkapkan oleh dua pasal pertama dan dua pasal terakhir dari Firman Allah yang kudus, penciptaan dan penebusan tidak hanya ada sebagai dua tahap sejarah penebusan. Sebaliknya, keduanya memiliki maksud dan tujuan yang sama. Keduanya adalah karya Allah yang sama di sepanjang sejarah—keduanya tidak dapat dipisahkan. Keselamatan mencakup penciptaan kembali, dan penciptaan dituntaskan melalui keselamatan. Demikian pula, antropologi dan ekklesiologi yang alkitabiah menjadi dua bidang teologi yang tidak terpisahkan, dua aspek dari subjek yang sama. Antropologi berfokus pada penciptaan dan kejatuhan manusia dalam dosa, sementara eklesiologi berfokus pada proses keselamatan dan pembentukan umat Allah. Dalam ranah antropologi, ekspresi ideal Allah atas umat manusia adalah gereja—laki-laki dan perempuan dalam komunitas, dan gereja yang final dan sempurna adalah komunitas laki-laki dan perempuan yang diciptakan oleh Allah. 

Gereja adalah Yerusalem yang baru, kota yang kudus dan kekal bagi umat manusia. Setiap gereja lokal yang kita lihat saat ini adalah kehadiran eskatologis dari komunitas umat manusia surgawi tersebut. Pekerjaan Roh Kudus adalah untuk menciptakan sebuah komunitas di dalam gereja yang mencerminkan komunitas umat manusia yang final dan sempurna itu, serta yang menampilkan kemuliaan Allah. Gereja bekerja bersama dengan Allah Roh Kudus, tidak hanya dalam karya penebusan, tetapi juga dalam karya penciptaan, dan bersama-sama dengan Allah menciptakan umat manusia yang kekal dalam rancangan Allah. 

Gereja bukan hanya tujuan dari sejarah penebusan, tetapi juga tujuan dari sejarah. Gereja-gereja yang terlihat yang tersebar di seluruh dunia saat ini adalah Yerusalem baru dalam konteks sejarah. Mereka adalah penopang kota surgawi umat manusia. Pada hakikatnya, gereja-gereja tersebut adalah kota-kota manusia yang ditebus untuk menampilkan kemuliaan dari kota kudus itu. Dan melalui karya Roh Kudus, gereja terus-menerus dikuduskan seraya mendekati kota yang kekal itu, sampai keselamatan akhirnya dan sepenuhnya tercapai. 

Pada akhir sejarah, nyanyian manusia akan kembali terlantun dan bergema hingga ke seluruh pelosok terjauh dari ciptaan.  

Allah adalah Alfa dan Omega dari keselamatan. Dia adalah awal dan akhir dari penciptaan. Dialah yang, pada awal penciptaan, berfirman dan "jadilah demikian." Dialah yang, di atas kayu salib, berbisik, "Sudah selesai." Dan Dialah yang, pada akhirnya, berseru dari takhta-Nya, "Sudah telah terlaksana!"

Lihatlah! Penciptaan akan disempurnakan sepenuhnya. Umat manusia akan dipersiapkan sebagai pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya. Allah akan tinggal bersama umat-Nya, dan mereka akan menjadi tempat kediaman-Nya. Langit yang baru dan bumi yang baru akan bergema dengan nyanyian manusia, tetapi kali ini perempuanlah, yaitu gereja sebagai pengantin perempuan, yang akan bernyanyi untuk selama-lamanya, "Inilah aku, tulang dari tulang-Nya dan daging dari daging-Nya." 

Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!


S.E. Wang adalah salah satu pendiri dan Direktur Konten Teologi untuk Center for House Church Theology. Sebagai generasi keenam umat Kristen dari Beijing, Tiongkok, ia menerima gelar Master of Arts dalam bidang Agama dari Westminster Theological Seminary.


Catatan

  1.  Clowney dan Bray, The Church: Contours of Christian Theology. 

  2. Kata "אָדָם" dalam bahasa Ibrani bisa merujuk pada manusia secara umum atau manusia sebagai individu. 

  3. Hal ini dinyatakan dalam Kejadian 2:24 ketika Tuhan membentuk unit komunal yang paling dasar—yaitu keluarga. Kehendak Allah adalah untuk menciptakan individu laki-laki dan perempuan yang masing-masing menyandang gambar-Nya dan juga komunitas manusia (umat manusia), yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, yang menyandang gambar-Nya. Gambar dan rupa Allah tercermin dalam diri manusia pada dua tingkatan—dalam diri manusia sebagai individu dan dalam diri manusia sebagai komunitas. Dengan kata lain, ketritunggalan Allah itu sendiri adalah gambar dan rupa Tuhan dan hadir dalam diri manusia yang Ia ciptakan.  

  4. Frasa ini identik dalam bahasa asli di kedua ayat tersebut. 

  5. Kerja sama ini terjadi, baik antara Allah dan manusia, maupun antara pria dan wanita karena mereka memiliki gambar dan rupa Allah. 

  6. Segala keindahan yang manusia pancarkan adalah hasil dari keberadaannya yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Oleh karena itu, keindahan itu sendiri pada hakikatnya adalah semacam pujian dan penyembahan kepada Tuhan.  

  7. Ada banyak sekali pembahasan eksposisi dan karya-karya teologis yang kaya tentang eskatologi dari Kejadian 3. Sebagai contoh, lihat Beale, A New Testament Biblical Theology dan Kline, Kingdom Prologue.

  8. Banyak penafsir telah membuat pengamatan ini. Lihat Beale, Kitab Wahyu, 1039-1121; Mounce, Kitab Wahyu, 388-98; Osborne, Wahyu, 745-67; dan Gaebelein, dkk., Tafsiran Alkitab Ekspositor, Jilid 12, Ibrani Sampai Wahyu, 591-98.

Bibliografi

  1. Alexander, T. Desmond. From Paradise to the Promised Land: An Introduction to the Pentateuch. Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2012.

  2. Bar-Efrat, Simeon. Narrative Art in the Bible. London; New York: T & T Clark International, 2004.

  3. Beale, G. K. ANew Testament Biblical Theology: The Unfolding of the Old Testament in the New. Grand Rapids, Mich: Baker Academic, 2011.

  4. --. The Book of Revelation. Edisi cetak ulang. Eerdmans, 2013.

  5. Clines, David J. A. The Theme of the Pentateuch. Sheffield, Inggris: JSOT Press, 1997.

  6. Clowney, Edmund P, dan Gerald Lewis Bray. The Church: Contours of Christian Theology. Downers Grove, Ill: InterVarsity Press, 1995.

  7. Gaebelein, Frank E.; Morris, Leon; Burdick, Donald W.; Blum, Edwin A.; Barker, Glenn W.; Johnson, Alan F. The Expositor’s Bible Commentary, Volume 12: Hebrews Through Revelation. Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1981.

  8. Gaffin, Richard B. Resurrection and Redemption: A Study in Paul’s Soteriology. Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed Pub. Co., 1987.

  9. Kline, Meredith G. Kingdom Prologue: Genesis Foundations for a Covenantal Worldview. Overland Park, Kan: Two Age Press, 2000.

  10. Mounce, Robert H. The Book of Revelation. Edisi revisi. Grand Rapids, Mich: Eerdmans, 1997.

  11. Osborne, Grant R. Revelation. Grand Rapids, Mich: Baker Academic, 2002.

  12. Ridderbos, Herman N. Paul: An Outline of His Theology. Grand Rapids, Michigan: W.B. Eerdmans Pub. Co, 1997.

  13. --. When the Time Had Fully Come: Studies in New Testament Theology. Eugene, OR: Penerbit Wipf & Stock, 2001.

  14. Sailhamer, John. The Pentateuch as Narrative: A Biblical-Theological Commentary. Library of Biblical Interpretation. Grand Rapids, Mich: Zondervan, 1992.

  15. Vos, Geerhardus. The Pauline Eschatology. Phillipsburg, N.J. .: P & R Pub, 1994.

Artikel ini pertama kali diterbitkan di majalah Church China.

Edisi bahasa Indonesia dan pengantar ini merupakan hak cipta © 2023 oleh Center for House Church Theology. Ilustrasi oleh PC Ng.

Kami mendorong Anda untuk menggunakan dan membagikan materi ini secara bebas-tetapi harap tidak memungut biaya, mengubah susunan kata, atau menghapus informasi hak cipta.

""Penciptaan itu sendiri bersifat telik, ia memiliki tujuan, tujuan yang diberikan oleh Allah; dan tujuan itu sangat terkait dengan gereja, Yerusalem Baru.""
- Andrew Katay