Formasi Spiritual di Seminari Gereja Rumah
oleh Rebecca Chen
Pendidikan teologi bukan hanya transmisi pengetahuan dan perolehan keterampilan, melainkan juga pembentukan manusia dan transformasi kehidupan. Dalam tulisan ini, seorang pemimpin perempuan membahas tantangan-tantangan yang dihadapi seminari gereja rumah dan memberikan saran-saran tentang bagaimana seminari-seminari dapat mempersiapkan para pemimpin dengan lebih baik dalam konteks apa pun.
Daftar untuk mengunduh artikel PDF bergambar tangan dan berwarna kami.
Catatan Editor
Saat ini, Urban Farmer menjabat sebagai Dekan Akademik di sebuah seminari gereja rumah di sebuah kota besar di Tiongkok. Selain bekerja sama dengan gereja-gereja rumah di Tiongkok selama 15 tahun terakhir, ia telah memusatkan pelayanan dan penelitiannya selama satu dekade terakhir pada dua minatnya, yaitu pengembangan gereja dan pendidikan teologi di gereja rumah di Tiongkok. Saat ini ia sedang mengejar gelar PhD di Trinity Evangelical Divinity School dalam bidang Studi Pendidikan.
Meskipun agama Kristen telah ada di Tiongkok setidaknya sejak abad ke-7 Masehi, menurut Dr Xu Lian dari Duke University, baru belakang ini gereja mendapat penerimaan yang lebih luas di antara masyarakat Tiongkok. Pendidikan teologi Kristen Protestan di gereja rumah di Tiongkok pada tahap awal adalah fokus utama dari artikel ini. Penulis menyusun artikel ini sebagai seseorang yang lahir di Tiongkok dan sekarang berkontribusi pada pendidikan teologi dalam konteks gereja rumah.
Wawasan yang disajikan di sini bertujuan untuk membantu para pembaca memperoleh pemahaman tentang segmen gereja Kristen yang belum banyak dipahami oleh dunia Barat. Meski karya aslinya ditulis dalam bahasa Mandarin, tetapi tulisan ini telah diterjemahkan seizin penulisnya dan tersedia bagi mereka yang berbahasa Inggris dan Indonesia dengan harapan bahwa mereka yang berada di luar konteks pun dapat sedikit mengetahui tentang pendidikan teologi gereja rumah pada tahap kritis dalam pertumbuhannya. Saya yakin para pembaca akan mengetahui bahwa tulisan ini adalah sesuatu yang membangun dan membuka wawasan.
Para pembaca juga akan menyadari bahwa artikel ini ditulis oleh seorang wanita. Wanita Tionghoa telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan penting dalam perkembangan gereja rumah, baik sebagai penginjil, pengajar, dan bahkan pendeta sejak awal. Banyak dari mereka telah bekerja keras dan berkorban banyak untuk perkembangan gereja rumah. Dalam beberapa kasus, para wanitalah yang memegang posisi kepemimpinan di gereja.
Budaya tradisional Tiongkok cukup patriarkal, tetapi Komunisme memperkenalkan pendekatan yang lebih egaliter. Beberapa gereja telah mencoba menangani masalah peran gender dengan menggunakan budaya tradisional dan Komunisme sebagai dua hal yang ekstrem, bersama dengan pendekatan alkitabiah yang menjadi semacam jalan tenang di antara keduanya. Hal ini juga memunculkan kebutuhan akan diskusi yang membahas pandangan alkitabiah tentang peran laki-laki dan perempuan. Perdebatan ini telah berkembang secara internal di gereja rumah, terlepas dari perdebatan teologis di Barat tentang isu gender.
Tentang Penulis
Rebecca Chen lahir di Tiongkok. Ia dan keluarganya menjadi Kristen ketika ia masih remaja. Ia mengambil studi seminari di Amerika Serikat dengan gelar M.Div. Sekarang ia melayani dalam pendidikan teologi untuk gereja rumah di Tiongkok.
Formasi Spiritual di Seminari Gereja Rumah
Pengembangan gereja dan pendidikan teologi selalu berjalan seiring. Gereja menyediakan sumber daya manusia dan materi untuk mendirikan seminari, dan orang-orang bertalenta yang dilatih di seminari akan berkontribusi pada pertumbuhan dan perluasan gereja.
Sejak akhir abad kesembilan belas, ketika banyak misionaris asing datang ke Tiongkok, sejumlah lembaga pendidikan teologi telah didirikan. Dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Tionghoa dan pertumbuhan gereja di Tiongkok selama seratus tahun terakhir, pendidikan teologi di Tiongkok juga berubah secara bertahap. Sebelum tahun 1949, pendidikan teologi sebagian besar dipimpin oleh para misionaris asing. Setelah hampir tiga puluh tahun mengalami stagnasi, seminari teologi Tiga-Diri kembali aktif dalam pengajaran di tahun 1980-an, dan gereja-gereja rumah yang bertumbuh secara diam-diam perlahan mulai memiliki sistem pelatihan sendiri untuk menghasilkan para rohaniwan. Dalam dua dekade terakhir, semakin banyak lembaga pelatihan teologi asing mulai masuk kembali ke Tiongkok untuk membantu gereja rumah secara bertahap membangun seminari yang lebih terstandardisasi. Saat ini di Tiongkok, terdapat studi agama Kristen di universitas sekuler, kemudian gereja-gereja Tiga-Diri dan gereja-gereja rumah juga telah memiliki sistem pendidikan teologi mereka sendiri.
Pendidikan teologi yang dibahas dalam makalah ini berfokus pada seminari khusus dalam konteks gereja rumah di Tiongkok, yang mungkin paling kompleks dan paling membutuhkan reformasi serta kemajuan. Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian: Pertama, membahas tujuan pendidikan teologi dalam konteks gereja rumah saat ini di Tiongkok; kedua, membahas faktor situasional yang perlu diperhatikan dan perubahan yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut; dan terakhir, menawarkan beberapa saran khusus untuk praktik pendidikan teologi saat ini di gereja rumah.
Tujuan Pendidikan Teologi di Gereja Rumah Tiongkok
Seminari-seminari gereja rumah bertujuan untuk melatih para pengerja purna waktu bagi gereja dan dengan demikian membantu gereja bertumbuh dalam kedewasaan. Tentu saja, pengerja purna waktu tidak hanya mencakup para pendeta, melainkan juga perintis gereja, misionaris, pengerja pelayanan pendamping gereja (parachurch), guru di sekolah Kristen, konselor di gereja atau pelayanan pendamping gereja, peneliti teologi dan bahkan para intelektual Kristen dalam arti yang lebih luas. Jelas tidak mungkin bagi pihak seminari untuk memenuhi kebutuhan semua peran yang berbeda ini pada saat yang bersamaan. Pada masa pertumbuhan gereja rumah yang pesat saat ini, kebutuhan terbesarnya adalah kekurangan tenaga pengkhotbah yang dapat terlibat secara langsung dalam pelayanan pastoral di gereja. Kemampuan dasar untuk terlibat dalam praktik penggembalaan di gereja lokal harus menjadi harapan dan persyaratan umum untuk segala macam pengerja purna waktu. Jika ada panggilan khusus lainnya, maka studi profesional dapat dikejar. Sebagai contoh, jika seseorang tertarik pada karir akademis teologi sebagai seorang akademisi, maka ia juga dapat meneruskan studi lebih lanjut di institusi pendidikan di luar negeri. Oleh karena itu, tujuan utama dari seminari gereja rumah Tiongkok adalah tetap untuk melatih para pengkhotbah bagi gereja lokal.
Pertanyaan kita kemudian berubah menjadi, pengkhotbah seperti apakah yang dibutuhkan di gereja-gereja rumah Tionghoa saat ini? Betapa pun uniknya situasi gereja rumah Tionghoa, jawaban dari pertanyaan ini haruslah bersifat universal, dan kita harus kembali kepada Alkitab. Yesus Kristus adalah Gembala Agung yang, sebagai pengantara kita, menjalankan tugas sebagai nabi, imam, dan raja (WSC 23). Dalam gereja lokal, pelayanan pastoral pengkhotbah dalam arti tertentu berfungsi sebagai wakil Kristus yang berperan sebagai pengantara ini. Oleh karena itu, akan sangat membantu jika panggilan sebagai pengkhotbah dalam kaitannya dengan ketiga jabatan ini (1). Pertama, peran pengkhotbah sebagai nabi menunjuk pada pelayanan Firman Allah, yang secara harfiah berarti "pengkhotbah." Dengan kata lain, tugas inti dari nabi adalah berkhotbah. Sama seperti para nabi dalam Perjanjian Lama yang menyampaikan Firman Allah kepada umat-Nya, demikian pula tugas pengkhotbah adalah untuk memberitakan dan menjelaskan Firman Allah kepada jemaat, yang penerapan terpentingnya adalah di mimbar pada hari Minggu. Oleh sebab itu, para mahasiswa seminari harus terlebih dahulu berakar pada Firman Tuhan, menguasai metode-metode dasar dan rangkuman utama dari teologi yang sistematis dan alkitabiah, dan dengan demikian dapat menguraikan pokok-pokok iman, menguraikan bagian-bagian Alkitab yang spesifik, dan "memproklamasikan Injil." Gereja-gereja rumah saat ini menghadapi begitu banyak tantangan yang kompleks, dari berbagai macam ajaran sesat hingga teologi liberal, dari godaan duniawi hingga penganiayaan arus utama, sehingga mustahil bagi para pengkhotbah untuk bertahan dalam "panggilan krisis" ini jika tanpa dengan teguh melandaskan iman dan pelayanan mereka pada Firman Tuhan. Ini adalah keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh setiap hamba Tuhan dan harus diperoleh pada saat mereka mengambil gelar teologi (Master of Divinity atau Master of Christian Studies). Jika seseorang melewatkan pelatihan di bidang ini, akan sulit untuk mendapatkan kesempatan dan waktu untuk menebusnya di kemudian hari. Bahkan jika seseorang ingin belajar di masa depan, itu hanya akan menjadi lebih mahal dan lebih sulit.
Kedua, peran pengkhotbah sebagai imam menunjuk pada kepedulian pastoral dan perhatian personal terhadap jemaatnya. Wu Dongri, presiden China Pastoral Seminary di Beijing, menunjukkan bahwa gereja-gereja rumah di Tiongkok sedang mengalami transformasi dari model pertemuan menjadi model pastoral, dan tuntutan spiritual dari orang-orang percaya pun semakin meningkat (2). Pelayanan pastoral bagi orang percaya semakin lebih dari sekadar penyampaian informasi satu arah. Sebaliknya, para pengkhotbah harus mampu memahami secara mendalam jemaat mereka dan orang-orang yang mereka injili agar dapat memberikan pertolongan dan bimbingan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang unik.
Ketiga, ada juga dimensi rajawi dalam peran seorang pengkhotbah. Sebagai sebuah komunitas, fungsi gereja lokal yang efektif dan berbagai pelayanan eksternalnya membutuhkan koordinasi dan kerja sama di dalamnya; dan pengkhotbah, sebagai seorang pemimpin, memikul tanggung jawab yang besar untuk memberi pengarahan dan pengaturan.
Oleh karena alasan ini, maka ketiga bidang ini, yaitu khotbah, kepedulian, dan kepemimpinan sering kali menjadi hal-hal yang paling diharapkan dari para pengkhotbah di gereja, tetapi ini tidak berarti bahwa memperlengkapi para mahasiswa seminari dengan "keterampilan kejuruan" ini adalah satu-satunya tujuan seminari. Hal ini karena, dengan terbatasnya waktu dan ruang, keterampilan-keterampilan ini sering kali dikembangkan secara dangkal, dan bahkan dapat diperoleh secara sadar tanpa dasar yang kuat. Namun untuk benar-benar membantu para mahasiswa seminari menghadapi kerasnya pelayanan pastoral dan menjadi efektif dalam pelayanan selama bertahun-tahun, maka keterampilan-keterampilan yang dangkal ini harus didukung oleh visi yang lebih luas dan kehidupan yang berakar secara mendalam. Seminari tidak boleh berpuas diri hanya dengan menjadi "lembaga pelatihan kejuruan dan teknis," melainkan seminari juga ditugaskan dengan tanggung jawab penting dalam pembentukan kerohanian dan pewarisan iman.
Kita dapat berbicara tentang pembentukan (formasi) yang lebih dalam bagi para mahasiswa seminari dalam dua cara. Yang pertama adalah perspektif wawasan dunia. Para pengkhotbah dipanggil oleh Tuhan untuk memimpin gereja dalam menjawab tantangan zaman kita. Oleh karena itu, selain menguasai Alkitab, mereka juga harus mengenal dunia, memahami masyarakat, dan memiliki kesadaran akan apa yang telah dan sedang terjadi. Pemahaman ini bukanlah pengetahuan dan informasi yang "netral" yang terlepas dari Alkitab, melainkan tetap membutuhkan kemampuan untuk menafsirkan fenomena yang terjadi di masyarakat dari sudut pandang iman, terlebih lagi dari perspektif Kristen. John Frame menegaskan bahwa teologi adalah penerapan Firman Tuhan di seluruh bidang kehidupan (3). Iman kita bukanlah doktrin-doktrin yang terisolasi, melainkan suatu wawasan dunia holistik yang mencakup "semua aspek kehidupan." Para pengkhotbah sendiri harus mengembangkan wawasan dunia ini sebelum mereka dapat merespons dengan tepat terhadap kompleksitas masyarakat yang sedang berubah.
Pada sisi lain, iman Kristen tidak berada dalam ruang hampa. Injil mau tidak mau harus diekspresikan melalui sarana-sarana budaya (misalnya, Injil harus diekspresikan melalui media bahasa, dan setiap bahasa manusia adalah bagian dari budayanya). Pada gilirannya, sebuah tradisi budaya tertentu mencerminkan wawasan dunia dari orang-orang di dalam kelompok tersebut dan bagaimana mereka memandang dan menanggapi Tuhan, diri mereka sendiri, dan dunia, yang pada akhirnya membentuk budaya mereka yang unik. Setiap orang memiliki latar belakang budaya asalnya masing-masing, dan sistem wawasan dunia yang tak terucapkan di baliknya harus terus diklarifikasi, diperiksa, dan dikoreksi saat berinteraksi dengan wahyu Allah. Oleh karena itu, pendidikan wawasan dunia pertama-tama dan terutama merupakan tantangan bagi para mahasiswa seminari itu sendiri, membantu mereka untuk mengembangkan kesadaran diri akan budaya mereka sendiri, dan secara kritis menghapus bagian-bagian yang berdosa dari budaya mereka. Kemampuan untuk mengenali dan merefleksikan budaya seseorang juga merupakan bagian dari pertobatan komunal dan pembangunan kehidupan baru.
Selain itu, gereja secara umum, sebagai "terang dunia" dan "kota di atas bukit," juga memiliki tanggung jawab untuk bersaksi bagi Kristus di dunia dan mewujudkan kerajaan Allah. Tindakan konkretnya meliputi berbagai pelayanan penjangkauan yang melayani masyarakat dan memperhatikan mereka yang membutuhkan. Hal ini juga membutuhkan kerangka wawasan dunia sebagai fondasinya. Penting untuk diklarifikasi bahwa ketika kami menekankan pembentukan wawasan dunia bagi para mahasiswa seminari, bukan untuk mempolitisasi dan menyosialisasikan iman Kristen sebagai alat untuk mempromosikan filosofi politik atau cita-cita sosial tertentu, melainkan untuk menyajikan Injil yang benar—tindakan penebusan Allah dalam sejarah—dengan mengekspresikan pemahaman tentang masyarakat dan budaya.
Meskipun pembentukan kerangka wawasan dunia dapat menjadi sangat kaya dalam dimensi-dimensinya, hal ini tetap berada di dalam sistem pengetahuan yang rasional. James K.A. Smith, dalam Desiring the Kingdom, menantang tradisi supremasi rasional dalam pendidikan teologi Barat. Ia menunjukkan bahwa manusia tidak hidup semata-mata berdasarkan pemikiran rasional, melainkan manusia juga merupakan makhluk liturgis yang beribadah. Yang benar-benar mendorong seseorang untuk bertindak sebagai manusia adalah keinginan dan hasrat terdalam mereka, visi mereka tentang "kehidupan yang baik." Maka, pendidikan yang terutama bukanlah tentang asimilasi gagasan dan informasi, melainkan tentang pembentukan hati dan hasrat; pendidikan bukan hanya tentang masuk ke dalam pikiran, melainkan juga (dalam arti yang lebih mendasar) tentang menangkap hati, καρδια dari Perjanjian Baru (4). Bukanlah kebetulan jika konselor yang alkitabiah, Paul David Tripp, juga berbicara tentang setiap orang yang memiliki "teologi abstrak" dan "teologi fungsional" -nya sendiri, dan bahwa
Penafsiran yang dibawa seseorang terhadap peristiwa-peristiwa dan kesadaran baru ... bukanlah hasil dari teologi abstrak yang dianut secara objektif. Tidak, teologi fungsional yang membentuk cara seseorang merespons selama periode ini berakar pada nilai-nilai, harta, dan hasrat hati orang tersebut (5).
Fenomena ini tersebar luas di seluruh dunia. Joshua T. Searle, yang menganalisis misi pendidikan teologi di negara bekas Uni Soviet setelah keruntuhannya, dengan jeli menunjukkan bahwa pendekatan individualistis gaya Barat terhadap penginjilan, dengan penekanan yang berlebihan pada perlunya pertobatan pribadi, telah membawa kepada sebuah situasi di mana
Para misionaris Barat tanpa disadari telah menciptakan sub-kelompok "para peniru orang Barat" –yaitu orang-orang yang tidak hanya tertarik oleh berita keselamatan di dalam Kristus, melainkan juga oleh kesempatan untuk melepaskan diri dari kondisi kehidupan masyarakat pasca-Soviet yang sering kali sulit. Pendidikan teologi, seperti yang diajarkan oleh para misionaris Barat di negara bekas Uni Soviet, telah dilihat oleh banyak orang sebagai jembatan antara kemiskinan masyarakat pasca-Soviet dan kemakmuran masyarakat konsumen Barat (6).
Beberapa ahli juga menunjukkan bahwa di Afrika Selatan, lembaga-lembaga pendidikan teologi memberikan pengetahuan teologi yang baik kepada para mahasiswa, tetapi gagal menyediakan program pemuridan formal yang sesuai dengan situasi mereka yang sebenarnya, dan dengan demikian secara tidak sengaja menghambat pertumbuhan rohani mereka (7).
Situasi serupa telah muncul sejak reformasi dan keterbukaan ekonomi Tiongkok pada tahun 1978, sehingga hal ini sangat menarik bagi kami. Bagaimanapun juga, pendidikan teologi bukan hanya transmisi pengetahuan dan perolehan keterampilan, melainkan juga pembentukan manusia dan transformasi kehidupan. Menurut Alan Leong, "Kepentingan pertama dari pendidikan adalah untuk menghasilkan orang-orang dengan kepribadian yang mandiri dan kemampuan untuk berpikir serta mengkritisi; pendidikan harus membawa dampak pencerahan konseptual, keterbukaan intelektual, dan pengembangan kepribadian ... Seminari pertama-tama harus menghasilkan 'manusia' yang utuh dan dewasa sebelum seminari tersebut memenuhi syarat untuk berbicara tentang melatih 'pengkhotbah'" (8).
Dalam pengertian ini, kita melihat bahwa para pengkhotbah harus menjadikan misi Allah sebagai keyakinan pribadi mereka, tidak hanya dengan identifikasi rasional, tetapi juga dengan kerinduan hati mereka. Yesus berkata, "Kebenaran akan memerdekakan kamu" (Yohanes 8:32). Cara melayani Kristus tentu saja merupakan cara penyangkalan diri, tetapi itu tidak sama dengan aturan moral yang mendiskualifikasi seseorang untuk mengejar "kehidupan yang baik." Sebaliknya, ini berarti bahwa definisi dari visi "kehidupan yang baik" sepenuhnya diperbarui oleh kebenaran, sehingga mengembangkan kedewasaan kristiani yang mengalami pertumbuhan sejati yang dipimpin oleh Roh Kudus dalam kehidupan, dengan nilai-nilai dan keinginan yang dihargai oleh hati yang didefinisikan ulang oleh Firman Tuhan. Harus dikatakan bahwa transformasi kehidupan seperti itu bukanlah sesuatu yang hanya perlu dialami oleh seorang pengkhotbah, melainkan juga oleh setiap orang Kristen; namun pengkhotbah harus menjadi teladan dan pelopor. Dengan landasan hidup seperti itu, pengetahuan teologi dan keterampilan pelayanan yang diperoleh mahasiswa seminari di kelas dapat sungguh-sungguh diimplementasikan dan digunakan untuk membangun gereja Tuhan dan memperluas kerajaan Allah.
Sebagai kesimpulan, tujuan dari seminari gereja rumah Tionghoa seharusnya adalah untuk melatih para pengkhotbah yang berkenan di hati Tuhan, yang "keharuman rohaninya" berasal dari dalam. Oleh karena itu, pola pikirnya perlu dibalik: pertama-tama untuk menolong para mahasiswa seminari mengalami anugerah Tuhan, membentuk kehidupan rohani yang mendambakan kerajaan Allah, dan membangun perspektif wawasan dunia Kristen yang holistik; kemudian memperlengkapi mereka dengan keterampilan-keterampilan pastoral yang diperlukan untuk berkhotbah ekspositori, kepedulian terhadap jemaat, dan kepemimpinan, serta melatih mereka untuk mempraktikkan keterampilan-keterampilan tersebut dalam situasi pelayanan yang nyata.
Tantangan-tantangan Khusus untuk Konteks Tiongkok
Mencapai tujuan yang disebutkan di atas untuk mempersiapkan para pengkhotbah, atau setidaknya bergerak ke arah itu, mungkin bukan tugas yang mudah. Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak gereja atau institusi yang mulai membuka seminari di Tiongkok, dan meskipun mereka telah menghasilkan beberapa orang yang bertalenta, mereka juga menghadapi berbagai kesulitan. Sebagian besar seminari ini, sedikit banyak, telah membawa sejumlah sumber daya teologi asing ke dalam negeri. Namun pergeseran dalam kekristenan global selama abad yang lalu telah menyebabkan badan-badan misi Barat mulai memikirkan ulang model pendidikan teologi tradisional Barat (9). Hal ini penting untuk disadari karena ini mengingatkan kita bahwa transfer langsung model pendidikan teologi Barat ke Tiongkok pasti akan mengalami kesulitan. Bagaimanapun juga, di balik pendidikan teologi, terdapat pembangunan teologi itu sendiri, yang tidak dapat dilakukan dalam semalam. Saat ini, tidak ada sistem yang berkembang dengan baik yang disebut sebagai "teologi Tionghoa" untuk gereja Tionghoa. Tradisi teologi yang diakui di dunia kontemporer masih mengandung "ornamen" budaya Barat, sehingga pendidikan teologi di Tiongkok mau tidak mau menghadapi pertanyaan "bagaimana mengekspresikan teologi Barat dalam konteks Tiongkok." Artinya, selama kita berbicara tentang pendidikan teologi formal yang masih didasarkan pada kerangka tradisi pendidikan teologi Barat, maka pendidikan teologi ini akan selalu memiliki karakter lintas budaya dan misi. Penting untuk mempertimbangkan situasi praktis dan keterbatasan gereja rumah Tionghoa serta langkah-langkah penanggulangannya. Hal ini mencakup beberapa karakteristik dari gereja rumah Tionghoa itu sendiri, serta perbedaan antara Timur dan Barat dalam tahap perkembangan gereja.
Akar dari gereja di Tiongkok didirikan oleh para misionaris asing selama gerakan misionaris modern pada abad kesembilan belas dan kedua puluh. Banyak dari para misionaris ini dipengaruhi oleh pietisme dan berfokus pada disiplin rohani seperti perenungandan doa, yang kemudian menjadi fondasi gereja di Tiongkok. Pada tahun 1980-an dan 1990-an, gereja-gereja rumah di banyak daerah di Tiongkok (terutama di daerah pedesaan) mengalami kebangunan rohani yang luar biasa di mana tradisi pietistik juga berperan sangat penting. Namun, apakah arti tradisi rohani ini bagi gereja-gereja rumah saat ini, beberapa dekade kemudian? Apakah tradisi rohani ini adalah kekuatan pendorong di balik kemajuan gereja rumah di Tiongkok, atau justru merupakan penyebab di balik terhambatnya perkembangan gereja? Mungkin tradisi-tradisi ini seharusnya tidak sepenuhnya diterima atau ditolak, melainkan diteruskan dalam proses reformasi.
Pertama, nilai unik dari tradisi-tradisi pietistik ini harus diakui. Selama sejarah panjang penganiayaan dalam gereja Tiongkok modern, orang-orang percaya yang setia telah mengandalkan disiplin-disiplin rohani ini selama tahun-tahun yang sulit, dan semangat kebangunan rohani telah menghasilkan sebuah komunitas orang percaya yang besar. Ini adalah warisan berharga dari generasi orang percaya sebelumnya bagi gereja-gereja rumah Tionghoa yang harus kita hargai dan ingat saat ini. Terutama pada masa kini ketika konsumerisme menyebar ke seluruh negeri, gereja-gereja dan orang-orang percaya sering kali sangat terpengaruh. Dalam menghadapi tantangan-tantangan seperti itu, gereja rumah perlu mempertimbangkan bagaimana tradisi rohani dari pietisme dapat menjadi sumber daya bagi gereja masa kini untuk membantu generasi baru orang percaya dalam melawan gempuran sekularisme. Para mahasiswa seminari adalah bagian dari generasi baru orang percaya ini, sehingga sumber daya yang kaya ini tidak boleh diabaikan ketika mempertimbangkan formasi spiritual para mahasiswa seminari.
Namun, pada saat yang sama, penting untuk mengenali kekurangan-kekurangan yang sering dikaitkan dengan tradisi pietisme gereja rumah. Sebagai contoh, ketika para pemimpin gereja yang lebih tua bertahan dalam pengejaran yang saleh akan kerajaan Allah, mereka pada umumnya memiliki pemahaman yang sempit tentang kerajaan Allah, sering kali hanya melihat pada tingkat keselamatan pribadi dan ruang lingkup gereja mereka sendiri, sehingga tidak memiliki perspektif kosmik dan mengabaikan anugerah universal dari Tuhan serta pemeliharaan dan keselamatan seluruh dunia ciptaan. Hal ini telah menyebabkan adanya kecenderungan yang kuat untuk "keluar dari dunia ini" dalam pengajaran gereja tradisional, yang membuat orang-orang percaya menghindari integrasi ke dalam masyarakat sekuler dalam upaya untuk mempertahankan kekudusan mereka sendiri. Ada lebih banyak sikap menghindar secara pasif daripada partisipasi aktif di zaman yang berkembang dan berubah dengan cepat. Dalam jangka panjang, gereja-gereja rumah secara bertahap menjadi terputus dari masyarakat dan semakin terasing satu sama lain. Jika kecenderungan seperti itu menjadi kecenderungan utama gereja, hal itu bahkan dapat mengarah pada fenomena bahwa semakin mereka setia menaati ajaran-ajaran gereja dan secara aktif terlibat dalam pelayanan, semakin mereka terputus dari masyarakat dan tidak memahami dunia. Para mahasiswa muda yang masuk ke seminari juga cenderung membawa karakteristik seperti itu dan tidak terbiasa serta tidak nyaman dengan pemikiran tentang wawasan dunia Kristen. Ini membutuhkan bimbingan yang lebih intensional dari seminari untuk mendorong pembentukan pemimpin-pemimpin gereja yang "berada di dalam dunia tetapi bukan dari dunia".
Selain itu, tradisi pietisme gereja telah diintegrasikan dengan unsur-unsur budaya asli Tionghoa dalam perkembangan kontekstualnya di Tiongkok selama satu abad terakhir. Salah satu fenomena dari tradisi gereja yang sangat dipengaruhi oleh pietisme adalah penafsiran Kitab Suci yang sering kali bersifat pribadi dan devosional, dengan sedikit panduan dalam hermeneutika dan kurang memiliki dasar dari tradisi iman gereja yang universal. Karakteristik-karakteristik ini, yang dikembangkan dalam budaya Tionghoa tradisional yang menghargai emosi dan perasaan di atas nalar dan perdebatan, serta ketaatan pada otoritas di atas pemikiran yang independen, cenderung melahirkan anti-intelektualisme dalam berbagai tingkatan. Kita telah melihat bahaya dari anti-intelektualisme ini, karena banyak orang percaya yang mengejar pengalaman "rohani" ini rentan terhadap iman yang buta dan kebimbangan; bahkan ajaran gereja pun sering kali terombang-ambing di antara legalisme dan antinomianisme, bukannya tetap berada di jalan yang benar yaitu Injil kasih karunia. Agar teologi memiliki dasar yang kuat, maka akal budi menjadi sarana penting yang diberikan Tuhan kepada kita. Kita telah melihat bahwa tradisi gereja Barat arus utama, mulai dari para Rasul dan Bapa Gereja hingga kaum skolastik abad pertengahan dan Reformasi, sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan memberikan penekanan yang besar pada akal budi. Jika kita ingin membalikkan kecenderungan anti-intelektual yang berakar pada budaya Tiongkok, maka pendidikan teologi saat ini mau tidak mau harus memasukkan pemikiran kritis. Oleh karena itu, pelatihan dalam ketajaman rasional sangatlah penting, dan sering kali menjadi tugas yang tidak mengenakkan tetapi diperlukan oleh para mahasiswa yang masuk ke seminari.
Lebih jauh lagi, sebagai sebuah organisasi yang lahir dari masyarakat akar rumput Tionghoa, gereja rumah memiliki cita rasa patriarki klan yang kuat. Tuntutan terbesar gereja terhadap generasi muda adalah kerendahan hati dan ketaatan. Meskipun kualitas-kualitas ini penting dan baik adanya, pemahaman yang sempit terhadap kedua hal tersebut sering kali menimbulkan masalah. Sebagai contoh, "kerendahan hati" tradisional ala Tiongkok ini membuat orang enggan untuk menjadi pemimpin, atau dalam istilah rohani, "semua orang adalah hamba Tuhan." Di balik kerendahan hati yang tampak ini, sering kali terselip kesombongan rohani dan penghindaran tanggung jawab. Tidak membicarakan kepemimpinan dan otoritas di atas kertas bukan berarti tidak ada otoritas, tetapi otoritas itu ada secara tidak terlihat, yang sering kali membutuhkan waktu lama untuk menebak-nebak dalam kegelapan. Mungkin ini semacam "aturan tak terucapkan" dari masyarakat akar rumput Tiongkok, tetapi di bawah pembaruan Injil, gereja harus menyadari perlunya perubahan dan keberanian untuk membuat terobosan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pengkhotbah menggembalakan dan mengajar gereja, dan menjadi pemimpin bagi kawanan domba Allah. Menyadari fakta ini, kita harus mengenali perlunya para mahasiswa seminari untuk secara sadar mengembangkan keterampilan kepemimpinan mereka sebagai pemimpin gereja di masa depan.
Pada sisi lain, tahap perkembangan gereja yang berbeda di Tiongkok dan Barat telah menciptakan ketegangan antara model seminari Barat dan model gereja Tiongkok sampai taraf tertentu. Di negara-negara Barat, baik gereja maupun seminari telah berkembang ke tahap yang relatif matang. Secara khusus, beberapa seminari denominasi tertentu telah bekerja sama dengan gereja masing-masing selama bertahun-tahun, dan hubungan antara keduanya sangat erat. Di satu pihak, para mahasiswa seminari telah tumbuh di dalam gereja, dan melalui pembelajaran selama bertahun-tahun dalam sistem Sekolah Minggu dan khotbah mingguan, mereka telah memiliki fondasi tertentu dalam teologi dan tidak akan mengalami terlalu banyak kesulitan saat mereka memasuki program Master of Divinity. Di pihak lain, ada kemungkinan bahwa beberapa generasi pendeta dan staf di sebuah gereja telah memiliki pengalaman seminari yang serupa, sehingga mereka tahu persis apa yang akan dipelajari dan dihadapi oleh para mahasiswa tersebut di seminari. Saat para mahasiswa seminari tersebut kembali ke gereja selama masa studi dan setelah lulus, para penatua gereja akan tahu persis bagaimana membantu dan memakai mereka dalam pelayanan. Hal-hal yang diajarkan di seminari dan yang mereka praktikkan di gereja pada dasarnya saling melengkapi, dan tidak ada banyak pertentangan.
Realitas gereja-gereja rumah Tionghoa sangat berbeda. Sebagian besar gereja-gereja rumah di Tiongkok telah berkembang dalam beberapa dekade setelah reformasi ekonomi tahun 1970-an; mereka tidak memiliki sejarah yang panjang dan dalam banyak hal masih relatif muda. Sebagian besar pemimpin gereja belum menerima pelatihan teologi formal. Meskipun mereka memiliki pengalaman rohani yang kaya, mereka tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang pendidikan teologi, sehingga membuat mereka sulit untuk melaksanakan banyak tugas yang diharapkan dalam gereja menurut model seminari Barat, seperti pelayanan pastoral dan pelatihan praktis bagi para mahasiswa. Beberapa mahasiswa seminari belum diperlengkapi sebelum masuk ke seminari, dan pengalaman pelayanan serta dasar teologis mereka lemah, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan seminari pada awalnya; dan ketika mereka masuk ke gereja setelah lulus, apa yang mereka bawa ke gereja mungkin terlalu baru dan sulit diterima oleh gereja. Semua faktor ini dapat menciptakan kesenjangan antara seminari dan gereja, dan dengan demikian menyebabkan kesulitan dalam kerja sama di antara keduanya.
Kesimpulannya, bagi seminari gereja rumah, tradisi pietisme di gereja rumah Tionghoa merupakan sumber daya rohani, tetapi juga dapat menciptakan tantangan dan ketegangan yang merugikan perkembangan gereja jika digabungkan dengan budaya Tionghoa. Karena sebagian besar gereja masih dalam tahap perkembangan yang relatif awal, dan seminari-seminari masih mencari model mereka sendiri, maka interaksi di antara mereka perlu disesuaikan dengan baik. Ini adalah faktor-faktor kontekstual yang unik yang perlu dipertimbangkan dalam pendidikan teologi gereja rumah saat ini.
Rekomendasi untuk Seminari-seminari Gereja Rumah
Sebagaimana telah disebutkan di atas, tujuan pendidikan teologi adalah untuk membentuk dan membina seseorang secara holistik: kami berharap para mahasiswa seminari mengalami pembaharuan hidup rohani, mengembangkan wawasan dunia yang luas, dan memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk melayani. Tujuan pendidikan yang beraneka ragam ini berarti bahwa pengaruh dan dukungan seminari haruslah menyeluruh. Lingkungan belajar tidak terbatas pada ruang kelas, tetapi juga mencakup berbagai persekutuan, komunikasi, dan kegiatan lainnya; pendidikan teologi tidak hanya tentang teologi itu sendiri, tetapi juga tentang ekspresi teologi yang dikontekstualisasikan dalam berbagai situasi; metode pembelajarannya bukan hafalan dan indoktrinasi, tetapi lebih menekankan pada pemikiran kritis dan penerapan pastoral yang praktis. Dengan mempertimbangkan situasi yang unik dari gereja rumah Tionghoa, kami akan membahas rekomendasi kami dalam tiga bidang berikut ini:
Belajar di dalam Komunitas
Pertama, seluruh lingkungan dan suasana sekolah sangat penting bagi pembentukan kehidupan mahasiswa. Dengan kondisi yang ada, kampus secara fisik sangat terbatas. Di sini kita lebih banyak berbicara tentang kondisi budaya dan komunitas (walaupun ada beberapa keterkaitan di antara keduanya) (10). Para pengajar dan mahasiswa di seminari haruslah sekelompok orang yang berpikiran sama dalam melayani Tuhan, dan karena itu mereka perlu bersekutu satu sama lain. Hubungan antara dosen dan mahasiswa, persahabatan di antara para mahasiswa, kegiatan bersama dan pribadi, serta komunikasi formal dan informal sering kali memiliki dampak yang tidak kentara namun sangat vital. Pembelajaran dan pertumbuhan kehidupan yang diubahkan terjadi dalam kelompok dan relasi yang sangat komunal ini, dan kehidupan sehari-hari seorang seminaris haruslah merupakan kehidupan komunitas yang rohani dan otentik.
Kembali ke Alkitab, kita menemukan bahwa model-model pendidikan teologi semuanya adalah model komunitas. Dari Elia, Yesus hingga Paulus, pembentukan generasi pemimpin rohani berikutnya terjadi dalam konteks kehidupan komunitas di sekitar tokoh sentral. Mereka tidak hanya mendiskusikan isu-isu teologis dan pastoral bersama, mereka juga makan dan hidup bersama, dan sang guru sentral ini mempersembahkan seluruh pribadinya kepada para murid—sebuah pendidikan organik. Jika kita melihat sejarah gereja, apa yang dilakukan oleh Agustinus, Martin Luther, dan Bonhoeffer dalam komunitas atau seminari kecil mereka juga merupakan contoh yang baik tentang peran penting yang diperankan komunitas dalam pendidikan teologi. Kehidupan komunitas ini adalah kehidupan penyembahan, dengan ibadah kepada Tuhan sebagai tujuan dan pusat kehidupan seluruh komunitas (11). James K.A. Smith mencatat bahwa karena manusia adalah makhluk penyembah, terlepas apa pun objek penyembahannya, maka penyembahan dalam komunitaslah yang benar-benar membentuk lingkungan yang sesuai dengan keinginan hati seseorang (12). Bahkan, sistem pendidikan umum di Tiongkok, dari sekolah dasar hingga universitas, tidak kekurangan kehidupan komunitas yang "beribadah" ini sebagai sarana untuk membentuk imajinasi sosial bersama. Jika dunia sekuler menggunakan metode-metode seperti itu, baik secara sengaja maupun tidak, untuk mencapai tujuannya, apalgi orang-orang Kristen yang menyembah Tuhan yang esa, yang benar-benar layak disembah, seharusnya lebih menghargai hak istimewa ini.
Jika kita menyadari pentingnya komunitas bagi pertumbuhan para mahasiswa seminari, kita harus memperkuat komitmen kita dan memberikan lebih banyak perhatian pada bidang ini. Sayangnya, menurunnya suasana komunitas merupakan masalah yang dihadapi banyak institusi teologi di seluruh dunia saat ini. Secara khusus, konsep "kampus" menjadi semakin kabur karena seminari-seminari lebih banyak menggunakan pembelajaran jarak jauh atau kursus intensif jangka pendek. Meskipun metode-metode pengajaran ini dapat mengurangi banyak pekerjaan dan biaya, nilai dari membangun relasi tidak dapat diabaikan begitu saja. Walau pembelajaran jarak jauh dapat mentransmisikan suara dan gambar ruang kelas melalui Internet, suasana saling belajar di antara para mahasiswa serta komunikasi yang spontan dan alami antara dosen dan mahasiswa sangatlah terbatas. Pendeta Lee Minji telah menunjukkan bahwa digitalisasi berarti "koneksi tanpa komunitas," di mana hanya informasi yang dikirimkan, tetapi tiada kehidupan yang dibagikan (13). Mempelajari teologi itu sendiri sudah merupakan sebuah perjalanan yang sepi, dan kesepian ini diperparah dengan kenyataan bahwa mahasiswa jarak jauh tidak dapat merasakan suasana kelas. Sebenarnya, banyak seminari menyadari masalah ini dan telah mengembangkan kegiatan tambahan secara daring untuk mendorong mahasiswa jarak jauh membangun hubungan satu sama lain. Akan tetapi formatnya sendiri masih berbeda dengan interaksi nyata kelompok luring, dan bahkan mungkin ada godaan tambahan (14). Komunitas daring hanya dapat menjadi pelengkap sementara, bukan pengganti hubungan dan pengaruh nyata dalam kelompok fisik. Format kelas intensif juga memiliki banyak kekurangan dan menuntut keterampilan belajar mandiri dan motivasi diri mahasiswa. Ada begitu banyak informasi di dalam kelas sehingga hampir tidak mungkin bagi para mahasiswa untuk merespons, dan pada saat para mahasiswa mulai mencerna materi kelas secara perlahan, dosennya sudah pergi, sehingga membuat pengajaran dan penggembalaan terhadap para mahasiswa menjadi sangat kurang efektif. Pilihan seminari atas metode pengajaran seperti itu tentu saja dibatasi oleh situasi tertentu di negara tersebut, tetapi di sisi lain, dalam suasana sosial saat ini yang mengupayakan efisiensi dan kepraktisan, semua orang ingin menghasilkan hasil yang maksimal dengan sumber daya manusia dan material yang paling sedikit (15). Sulit bagi gereja dan seminari untuk tidak terpengaruh oleh hal ini, sehingga lambat laun mereka terbiasa dengan metode-metode ini dan menganggapnya sebagai norma, mengabaikan kemungkinan kerugian bagi para mahasiswa seminari. Harus dikatakan bahwa format jarak jauh dan intensif memiliki penerapannya dalam beberapa situasi tertentu, tetapi ini bukanlah pilihan terbaik untuk pendidikan teologi profesional seperti yang sedang kita diskusikan.
Oleh karena itu, terlepas dari segala kesulitannya, kita harus sebanyak mungkin mempromosikan pendidikan tatap muka penuh waktu. Selain itu, komunitas di antara mahasiswa, dosen, dan staf juga harus dibangun secara intensional oleh institusi, jika tidak, komunitas yang ideal tidak akan muncul secara spontan. Saran khusus dari Banks untuk hal ini termasuk menciptakan ruang santai di kampus di mana mahasiswa dan staf pengajar dapat makan dan beristirahat bersama secara informal; membangun komunitas di dalam kelas melalui diskusi, kelompok-kelompok kecil, dan presentasi; serta merayakan dan memperingati hari-hari raya agama Kristen dan hari jadi institusi secara bersama-sama, adalah beberapa contoh praktisnya (16). Selain kesempatan santai untuk berinteraksi ini, para mahasiswa perlu membentuk kelompok persekutuan, yang dipimpin oleh mentor reguler, dengan ibadah dan waktu teduh bersama, serta doa bersama yang lebih mendalam, dll., yang melaluinya ada lebih banyak ekspresi dan hubungan yang manusiawi. Dalam komunitas seperti itu, para mahasiswa didorong untuk mengembangkan persahabatan rohani yang tulus di mana mereka dapat saling menyatakan akuntabilitas, menghadapi dosa dan kelemahan satu sama lain, dan diperdamaikan dengan penerimaan dalam anugerah. Hubungan semacam itu difasilitasi tidak hanya pada tingkat horizontal, tetapi juga pada tingkat vertikal hubungan mahasiswa dengan Tuhan, di mana tradisi rohani pietistik dari gereja rumah dapat turut berperan. Dalam suasana ini, para mahasiswa juga dapat mengatur diri mereka sendri ke dalam kelompok yang lebih akademis atau kelompok minat dan mengeksplorasi presentasi iman yang lebih kaya dalam ibadah bersama.
Karena keterbatasan kapasitas dari gereja rumah yang ada, di mana banyak di antaranya tidak mampu memberikan dukungan pastoral yang solid bagi para mahasiswa seminari, maka seminari juga harus memikul tanggung jawab untuk menggembalakan para mahasiswa. Staf pengajar di seminari bukan hanya tim pengajar, tetapi juga tim pastoral. Selain itu, harus ada seorang pembimbing pastoral, sebaiknya pendeta yang sudah matang dari gereja terdekat, yang dapat memberikan bimbingan rohani secara pribadi dan konseling terkait panggilan pelayanan di masa mendatang kepada para mahasiswa seminari. Seminari juga harus memiliki pendeta dan konselor yang biblikal untuk memberikan pelayanan pastoral bagi para mahasiswa di luar studi mereka.
Selain itu, kehidupan komunitas seperti itu dapat membantu para mahasiswa muda untuk belajar bagaimana bekerja sama dan menyelesaikan konflik ketika mereka menjadi dewasa dalam kehidupan pribadi mereka. Banyak pengkhotbah yang meninggalkan pelayanan karena mereka gagal bergaul dengan orang lain. Jika pengkhotbah itu sendiri tidak bisa bergaul dengan sesama pendeta, bagaimana ia dapat menggembalakan jemaatnya dengan baik? Merupakan pengalaman yang sangat penting bagi para mahasiswa seminari untuk hidup bersama dan saling menguatkan satu sama lain selama masa studi mereka. Sering kali menghadapi ketegangan antarpribadi di ladang pelayanan pastoral adalah hal yang harus dibayar mahal oleh para pengkhotbah, tetapi seminari dapat memberikan lebih banyak toleransi dan dorongan kepada para mahasiswa serta memiliki lebih banyak sumber daya untuk membantu mereka bertumbuh dan menjadi dewasa dalam relasi mereka.
Secara keseluruhan, pengaruh antarpribadi yang terjadi di seminari sering kali tidak kentara. Terlepas dari hal-hal spesifik di atas kertas, cara dan sikap yang dilakukan selama di seminari secara implisit menyatakan apa yang benar-benar diyakininya. Sering kali dengan cara yang tidak disadari inilah formasi spiritual memiliki dampak yang paling dalam. Oleh karena itu, seminari tidak hanya perlu memperhatikan prestasi akademis para mahasiswa, tetapi juga seluruh kehidupan mereka: relasi mereka dengan Tuhan dan sesama, mata kuliah mereka, persekutuan mereka, kehidupan gereja mereka, dan lain-lain, yang semuanya membantu membentuk kehidupan rohani, visi, dan kemampuan mereka. Mungkin yang paling penting bagi para dosen dan staf seminari, bukanlah apa yang mereka katakan atau ajarkan, melainkan bagaimana mereka hidup dalam interaksi sehari-hari dengan para mahasiswa—apakah mereka benar-benar menunjukkan Injil dan teologi yang mereka yakini dan khotbahkan—itulah yang paling berdampak bagi para mahasiswa.
Pembelajaran Interdisipliner dan Teologi Kontekstual
Bidang utama yang kedua berkaitan dengan isi pengajaran. Untuk membangun suatu visi yang holistik tentang wawasan dunia Kristen, seminari-seminari gereja rumah harus membuka pikiran mereka dan memperluas wawasan mereka dari konten tradisional pendidikan teologi Barat, yaitu dari teologi itu sendiri, menuju penerapan ekspresi teologi yang kontekstual, yang mencerminkan bagaimana wawasan dunia Kristen berinteraksi dengan budaya dan waktu yang berbeda.
Hal pertama yang bisa diperkuat adalah bidang sejarah. Sejarah umat manusia juga merupakan sejarah keselamatan Tuhan, dan perkembangan sejarah gereja itu sendiri merupakan sebuah proses kontekstualisasi teologis. Perkembangan teologi adalah proses pemecahan masalah-masalah praktis dari sejarah yang nyata. Oleh karena itu, studi teologi membutuhkan studi sejarah. T.E. Chiu bahkan menyarankan agar studi sejarah Tiongkok modern harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan teologi Tiongkok saat ini, dan hal ini tentu saja termasuk sejarah gereja Tionghoa (17). Para mahasiswa seminari perlu memahami dan menanggapi Tiongkok kontemporer dan gereja Tiongkok dari wawasan dunia Kristen melalui pemahaman akan sejarah, sehingga aspek kurikulum ini sangat diperlukan. Selain mata kuliah khusus sejarah, refleksi historis juga perlu diperkuat dalam mata kuliah teologi lainnya, sehingga para mahasiswa dapat mengembangkan kebiasaan untuk belajar memikirkan isu-isu teologis melalui lensa sejarah.
Kedua, dari perspektif pembentukan manusia seutuhnya dan membangun wawasan dunia, maka musik dan seni dapat diberi bobot lebih besar dalam kurikulum seminari. Pencarian akan kebenaran, kebaikan, dan keindahan merupakan hasrat yang melekat pada diri manusia yang mencerminkan citra Allah, dan pencarian akan kebenaran serta pengejaran etika ketuhanan merupakan puncak dari studi teologi. Namun, estetika sebagai cara penting untuk mengenal Tuhan dan dunia sering kali sulit ditemukan di seminari. Memang, semakin pentingnya estetika dalam kehidupan manusia setelah hadirnya Romantisisme sering kali diabaikan dalam gereja dan teologi Protestan. Seperti yang dikatakan oleh Banks, pendekatan teologis saat ini terhadap pendidikan berfokus pada aspek kognitif mahasiswa, tetapi kurang atau tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap imajinasi dan kapasitas kreatif manusia (18).
Memang, musik dan seni kerap kali dapat menjadi pelengkap yang bermanfaat dalam hal ini, memberikan contoh nyata tentang bagaimana iman diekspresikan dalam berbagai budaya di seluruh dunia. Musik pada dasarnya merupakan elemen penting dalam tradisi ibadah Kristen. Namun, berlawanan dengan pentingnya musik dalam ibadah di gereja, tidak masuk akal jika banyak mata kuliah di program Master of Divinity justru tidak berhubungan dengan musik. Tidak hanya itu, perkembangan tren musik adalah ekspresi ide dan budaya yang paling populer. Dalam hal seni secara umum, seni mengandung pesan yang kaya tentang dunia dan gereja, karena seni itu sendiri adalah ekspresi dan refleksi manusia tentang hal-hal yang mereka percayai. William A. Dyrness mencatat bahwa studi tentang karya seni dapat didiskusikan dalam tiga tingkat pendidikan teologi, sehingga melibatkan tiga tingkat praktik yang berbeda. Tingkatan-tingkatan ini meliputi teologi yang terkandung dalam karya seni itu sendiri, dampak dari karya-karya tersebut terhadap praktik ibadah jemaat, dan membantu para mahasiswa untuk mengembangkan kepekaan rohani melalui seni sebagai bagian dari disiplin rohani mereka. Ia menulis,
Seni dapat membuat kita merenungkan dan menantang atau menegaskan nilai-nilai serta prasangka kita sendiri. Sama seperti melintasi batas-batas budaya yang sering kali memberikan kelegaan yang tajam atas nilai-nilai unik yang membedakan kita dari orang lain, demikian pula perjumpaan dengan karya seni yang dielaborasi dengan kaya dapat menimbulkan perasaan yang mendalam dan menciptakan resonansi dengan banyak dimensi pengalaman kita (19).
Dalam hal implementasi konkret, ini bukan berarti bahwa seminari harus memperkenalkan lebih banyak mata kuliah seni; pilihan yang lebih masuk akal adalah menemukan cara untuk mengintegrasikannya ke dalam kurikulum yang sudah ada, dan menggunakan lebih banyak seni dalam segala bentuk—lukisan, pahatan, musik, lagu, fiksi, drama, puisi, film, video, kerajinan tangan, tarian, dan lain-lain—dalam pengajarannya (20).
Selain itu, untuk membantu para mahasiswa mengembangkan sistem wawasan dunia, akan sangat membantu untuk menawarkan mata kuliah pengetahuan budaya (liberal arts) yang berasal dari perspektif wawasan dunia Kristen. Hal ini mungkin sulit bagi seminari pada umumnya, tetapi kerja sama antara seminari di Tiongkok Barat dengan Fakultas Humaniora merupakan sebuah preseden yang baik. Para mahasiswa seminari diwajibkan untuk mengambil mata kuliah dari Fakultas Humaniora sebagai mata kuliah pilihan dan pendengar, sehingga mereka dapat mencapai hubungan yang seimbang dan organik antara pendidikan teologi (pengetahuan tentang Tuhan dan manusia) dan pendidikan humaniora (pengetahuan tentang dunia) dalam perspektif Kristen. Akan tetapi, kita juga harus berhati-hati bahwa para mahasiswa seminari tersebut harus terlebih dahulu memiliki fondasi kerohanian yang kuat dan kehidupan gereja yang berkomitmen, jika tidak, ada kemungkinan bahaya bahwa mereka akan lebih tertarik pada mata kuliah pengetahuan budaya tersebut yang merugikan studi teologi itu sendiri. Lebih penting lagi, pendekatan seminari tersebut dapat mengarahkan kita pada sebuah arah masa depan yang mungkin terjadi dalam jangka panjang, yaitu kemitraan antara seminari dan universitas Kristen.
Untuk membantu para mahasiswa seminari agar dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik dalam pelayanan setelah lulus, pihak seminari biasanya memiliki persyaratan magang untuk mereka, umumnya dalam bentuk kredit atau jam kerja, tetapi kurang memperhatikan konten spesifik dari pelayanan magang tersebut. Padahal, magang dalam lingkungan pelayanan yang nyata dapat menjadi bentuk pembelajaran yang penting. Untuk membantu para mahasiswa seminari memperluas wawasan mereka, mendapatkan pemahaman yang lebih besar tentang ekspresi Injil Allah dan perluasan kerajaan Allah, serta melampaui pengalaman rohani pribadi mereka untuk melihat dan belajar tentang pelayanan dari perspektif global, maka disarankan agar pihak seminari mempertimbangkan kemitraan dengan berbagai lembaga pendamping gereja (parachurch), sehingga, selain praktik pastoral harian mahasiswa seminari di gereja-gereja lokal atau gereja asal mereka, mereka juga diberikan kesempatan magang yang lebih singkat tetapi bervariasi untuk mengamati dan belajar di setiap organisasi ini dalam waktu singkat. Kuncinya adalah untuk terlibat sepenuhnya dan seluas mungkin dalam berbagai posisi pelayanan, termasuk misi jangka pendek, misi jangka panjang, pelayanan kampus, konseling yang alkitabiah, kelompok ibadah, sekolah Kristen, dan lain-lain. Hal ini akan memungkinkan para mahasiswa untuk memahami berbagai jenis pelayanan penuh waktu dalam waktu yang relatif singkat, sehingga mereka dapat memiliki kejelasan tentang panggilan khusus mereka dan mempersiapkan arah masa depan mereka. Bahkan bagi para mahasiswa seminari yang telah jelas terpanggil untuk menjadi pendeta, pemahaman yang lebih dalam tentang sifat dan isi pelayanan lembaga-lembaga ini dapat bermanfaat bagi kemitraan yang lebih baik antara gereja dan lembaga-lembaga semacam ini di masa yang akan datang (21). Proposal ini juga menyoroti perbedaan antara Tiongkok dan negara-negara asing lainnya. Di negara-negara lain, berbagai lembaga pendamping gereja terbuka dan transparan, sehingga para mahasiswa dapat datang dan belajar tentang mereka secara mandiri, tetapi dalam situasi kami saat ini, karena berbagai alasan, banyak lembaga tersebut agak tertutup kepada publik atau malah benar-benar tersembunyi, sehingga sulit bagi "orang luar" untuk mengetahui informasi mereka dan mendapatkan kepercayaan mereka (situasi inilah yang justru sering membatasi perkembangan dari lembaga itu sendiri). Kemungkinan besar para mahasiswa seminari tidak pernah mengenal lembaga-lembaga ini, sehingga pemahaman dan perspektif mereka terhadap pelayanan jadi cenderung sempit. Seminari, sebagai wadah untuk mendapatkan lebih banyak informasi, dapat membantu dan mendukung para mahasiswa seminari dalam hal ini.
Berpikir Kritis untuk Pembelajaran Berkelanjutan
Dalam bidang yang ketiga tentang metodologi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, banyak orang percaya di gereja-gereja rumah yang tradisional sering kali kurang memiliki pemikiran yang independen, dan mereka cenderung tidak terbiasa dan tidak siap dengan cara berpikir Barat. Oleh karena itu, mereka sangat membutuhkan pelatihan dan persiapan dalam berpikir kritis. Dalam hal ini, penting untuk membebaskan pikiran, mendorong mereka untuk bertanya, dan menghadapi konflik serta keraguan secara langsung. Banyak seminari sekarang merespons dengan menawarkan mata kuliah pengantar metodologi penelitian kepada para mahasiswa baru di semester pertama. Mata kuliah ini tidak hanya mengajarkan prinsip-prinsip khusus terkait membaca dan menulis, tetapi juga mendorong pengembangan cara berpikir yang kritis. Pada saat yang sama, penting untuk mengakui bahwa tradisi Kristen Barat dalam hal penalaran filosofis bukanlah standar yang absolut, dan bahwa kecenderungan untuk mereduksi kekristenan menjadi "serangkaian proposisi doktrinal yang terbatas" tidak sepenuhnya menyingkapkan kekayaan dari Alkitab. Mungkin pendidikan teologi juga perlu mencari sumber-sumber dari anugerah umum dalam cara berpikir tradisional Tionghoa dan belajar untuk mengekspresikan isi iman Kristen di dalamnya.
Hal ini bukan hanya berlaku untuk mata kuliah tertentu, tetapi juga merupakan kebutuhan umum untuk refleksi dalam pengajaran dan pembelajaran semua mata kuliah. D.H. Lam, misalnya, menunjukkan bahwa dosen memiliki pengaruh terbesar terhadap pemikiran kritis mahasiswa, terlepas dari mata kuliah tertentu. "Persiapan pelajaran yang cukup, pengaturan materi, dorongan partisipasi aktif dalam diskusi, dan isi ujian yang menggambarkan pemikiran, semua itu memiliki dampak yang signifikan dalam pengembangan keterampilan analisis mahasiswa" (22). Kendati demikian, para mahasiswa di Tiongkok sering terbiasa (dan nyaman) dengan metode "disuapi," sehingga sulit untuk mencapai hasil yang baik untuk tujuan pengajaran kami. Dosen seminari harus berusaha menghindari indoktrinasi sepihak, dan sebaliknya berusaha untuk menggabungkan diskusi kelas dan penelitian pasca-kelas supaya mengarahkan para mahasiswa menuju pembelajaran yang spontan, dengan lebih banyak kerja berpasangan dan kerja sama di antara mereka, sehingga mereka dapat belajar dari satu sama lain. Terutama di era internet saat ini, keluasan dan kedalaman pengumpulan informasi telah mengalami revolusi. Banyak materi yang dulunya hanya tersedia bagi para profesional, sekarang tersedia bagi rata-rata orang secara daring. Seminari-seminari generasi baru harus menanggapi kenyataan ini dan memanfaatkan sumber daya yang dibawa oleh anugerah umum ini. Ini adalah bidang yang sangat penting untuk menjadi fokus bagi seminari-seminari gereja rumah, di mana pembangunan perpustakaan secara fisik sangat terbatas dalam banyak hal. Upaya-upaya juga harus dilakukan untuk memberi akses bagi para mahasiswa untuk informasi-informasi yang nyata dan membangun perpustakaan secara daring atau elektronik. Pelatihan mahasiswa tidak boleh menekankan pada hafalan, melainkan harus berfokus pada metode-metode yang menumbuhkan pemikiran, termasuk, tentu saja, membantu mahasiswa memperoleh kemampuan untuk mengakses dan mengevaluasi informasi. Seminari yang memiliki kapasitas untuk melakukan hal ini juga harus mempertimbangkan untuk memberikan seminar, misalnya, semacam diskusi tematik, bagi kelas lanjutan untuk mendorong para mahasiswa mengeksplorasi secara spontan dan membentuk kebiasaan membaca yang ekstensif serta studi jangka panjang.
Proses pembelajaran tidak boleh berhenti di ruang kelas saja, melainkan harus dipraktikkan. Proses pembelajaran teologi selesai ketika seorang mahasiswa teologi mampu mengintegrasikan materi perkuliahan, menerapkannya dalam situasi pastoral, dan sungguh-sungguh melayani orang percaya dan para pencari Tuhan di gereja. Hal ini membutuhkan kerja sama antara seminari dan gereja, serta kesediaan gereja untuk menyediakan wadah bagi para mahasiswa seminari untuk mempraktikkan apa yang telah mereka pelajari, menoleransi sikap mereka yang kurang dewasa, dan untuk memberikan dukungan serta bimbingan yang penuh anugerah.
Akhirnya, perlu ditambahkan bahwa studi teologi harus menjadi upaya seumur hidup bagi siapa saja yang melayani Tuhan, bahkan untuk setiap orang Kristen. Tahun-tahun selama mahasiwa di seminari sangatlah terbatas dan tidak dapat sepenuhnya menyelesaikan tugas untuk membentuk kehidupan, melainkan itu hanyalah sebuah permulaan, yang meletakkan fondasi dan memberikan arah yang tepat. Oleh karena itu, seminari juga harus dengan sadar membantu para mahasiswa dalam studi jangka panjang mereka, seperti mengadakan seminar forum pastoral secara berkala dan menawarkan kuliah-kuliah penyegaran bagi para pengkhotbah. Bagi para alumni, mereka harus tetap menjalin relasi melalui ikatan alumni untuk melanjutkan persahabatan rohani yang telah terjalin di kampus, sehingga para pengkhotbah baru tidak merasa kesepian, melainkan memiliki kelompok pendukung di belakang mereka. Bahkan, para lulusan yang telah pergi ke gereja-gereja yang berbeda dan kembali untuk reuni telah membawa gereja-gereja tersebut lebih dekat satu sama lain dan dengan seminari, serta dapat lebih menunjukkan sikap saling pengertian dan kerja sama.
Sebagai kesimpulan, karena Allah kita adalah Allah Tritunggal, maka pendidikan teologis kita haruslah bersifat satu dan banyak. Kedewasaan hidup rohani, wawasan dunia, dan keterampilan intelektual dalam pelayanan tidaklah terpisah, melainkan merupakan aspek-aspek yang berbeda dari diri seseorang. Suasana, konten pengajaran, dan metode pembelajaran di seminari bukanlah faktor-faktor yang terpisah, melainkan terintegrasi untuk bekerja sama secara dinamis dalam membentuk manusia dan mengembalikan mereka kepada kehendak Allah di tengah kesulitan yang nyata. Meskipun konten yang dibahas beragam dan kompleks, serta ada kesenjangan yang lebar antara idealisme dan kenyataan, namun tetap saja hal itu layak untuk diperjuangkan. Kita harus berusaha sebaik mungkin untuk merefleksikan esensi kesatuan dalam pendidikan teologi. Kami juga berdoa agar Roh Kudus memberkati generasi-generasi para pendeta gereja rumah di Tiongkok melalui pendidikan teologi, dan agar seminari menjadi berkat bagi gereja rumah Tionghoa.
Rebecca Chen lahir di Tiongkok. Ia dan keluarganya menjadi Kristen ketika ia masih remaja. Ia mengambil studi seminari di Amerika Serikat dengan gelar M.Div. Sekarang ia melayani dalam pendidikan teologi untuk gereja rumah di Tiongkok.
Catatan
Jeffery A. Landis, "The Pastor as Prophet, Priest, and King," New Horizons, Juli 2011, diakses pada 13 Mei 2022, https://opc.org/nh.html?article_id=712.
Wu, Dongri, "How to Do Theological Education in China," Sacred Mountain Magazine, No. 2, 2009, 46.
John Frame, The Doctrine of the Knowledge of God (Phillipsburg, New Jersey: Presbyterian & Reformed, 1987), 81.
James K.A. Smith, Desiring the Kingdom: Worship, Worldview & Culture Formation (Grand Rapids, MI: Baker, 2009), 22.
Paul David Tripp,Lost in the Middle: Midlife and the Grace of God, (Shepherd Press, 2004), 51.
Joshua T. Searle, “From Christian Worldview to Kingdom Formation: Theological Education as Mission in the Former Soviet Union,” European Journal of Theology 23 (Musim gugur, 2014): 104–115, 16.
Johannes J. Knoetze, "Transforming theological education is not the accumulation of knowledge, but the development of consciousness," Verbum et Ecclesia, Juli 2020, 41.1(1), a2075. https://doi.org/10.4102/ve.v41i1.2075.
Alan Leong, Kata Pengantar,Cultivating Theological Education for a New Generation of Preachers - Essays of the 2016 Theological Education Conference, ed. Dr. Man-yiu Lee (Hong Kong: Alliance Bible Seminary, 2016), 12.
Andrew F. Walls, "Overseas Ministries and the Subversion of Theological Education," International Bulletin of Mission Research, Vol 45, Issue 1, 2021: 7-14.
Catatan editor: Mengingat ilegalitas lembaga keagamaan mana pun yang tidak bersedia mematuhi pengawasan Partai Komunis Tiongkok, seminari-seminari di Tiongkok mungkin berlangsung secara virtual atau secara rahasia, sehingga sulit untuk meniru pengalaman di kampus pada umumnya.
Robert J. Banks, Reenvisioning Theological Education: Exploring a Missional Alternative to Current Models (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1999), 138.
James K.A. Smith, Desiring the Kingdom, 158.
Kuliah tentang "Teologi Penyembahan" yang disampaikan oleh Pdt. Lee Minji di Reformed Theological Seminary di Taipei pada bulan Januari 2022.
Salah satu masalahnya adalah ketika para mahasiswa jarak jauh mulai membangun hubungan dengan satu sama lain, sifat jaringan menyatakan bahwa komunikasi ini hampir tidak pernah sepenuhnya bersifat publik dan terbuka, tetapi bersifat pribadi; tidak banyak-ke-banyak, tetapi satu-ke-satu. Jika mahasiswanya lebih muda, maka mereka akan lebih sulit untuk memahami batas-batas emosional antara hubungan pria dan wanita dalam jangka panjang, dan sulit untuk melakukan pengawasan terhadap hubungan yang tidak sepantasnya.
Catatan editor: Hal ini mungkin merujuk pada sifat penganiayaan di Tiongkok dan negara-negara lain.
Banks, Reenvisioning Theological Education, 223.
T.E. Chiu, Help Me Go - A Vision for Evangelization in China (Taipei: Evangelical Church in China Publications, 1993), 323.
Banks, , 220.
William A. Dyrness, “Sharpening Our Vision as a Mode of Theological Education," Sacred Imagination: The Arts and Theological Education, Theological Education Volume XXXI, Nomor 1 (Musim gugur 1994): 91-96, 94.
Banks, Reenvisioning Theological Education, 221.
Inspirasi untuk saran ini datang dari pengalaman magang penulis saat menjalani pendidikan kedokteran. Dalam pendidikan program master kedokteran gigi klinis selama tujuh tahun, hanya empat setengah tahun yang dihabiskan dalam program ini, dan dua setengah tahun lainnya dihabiskan untuk magang. Setiap mahasiswa diharuskan untuk menghabiskan waktu enam bulan dalam magang klinis besar di rumah sakit umum, bekerja bergantian di tiga departemen atau lebih, kemudian satu tahun di kedokteran gigi umum, dan satu tahun terakhir dalam spesialisasi mereka. Ini berarti bahwa selama satu setengah tahun magang, mahasiswa akan melakukan sesuatu yang tidak akan menjadi bagian dari karir mereka di masa depan, tetapi melalui rotasi departemen ini, mahasiswa akan dapat memahami struktur seluruh sistem perawatan kesehatan dan mekanisme kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu kedokteran, dan akan memiliki pemahaman yang komprehensif tentang praktik profesional kedokteran gigi. Semua ini akan sangat membantu untuk karir dokter gigi di masa depan.
D. H. Lam, Theology is the Study of God: A Journey without End (Hong Kong: Dao Sheng Publishing, 2011), 130.
Artikel ini ditulis untuk seminari di Tiongkok.
Edisi bahasa Indonesia dan pengantar ini merupakan hak cipta © 2023 oleh Center for House Church Theology. Ilustrasi oleh PC Ng.
Kami mendorong Anda untuk menggunakan dan membagikan materi ini secara bebas-tetapi harap tidak memungut biaya, mengubah susunan kata, atau menghapus informasi hak cipta.