Tanggapan Matt Zhao terhadap artikel Tuhan Sedang Mempersiapkan Seorang Pembebas
Kami telah meminta para pemikir terkemuka di luar Tiongkok untuk menanggapi suara-suara dari gereja rumah Tionghoa, menciptakan sebuah dialog yang belum memungkinkan untuk dilakukan melalui jalur tradisional.
Matt Zhao (nama samaran) lahir di Tiongkok dari keluarga Kristen dan menjadi seorang Kristen saat kuliah. Dia menempuh studi seminari di Amerika Serikat, menyelesaikan gelar M.Div. dan Ph.D. Dia melayani di salah satu jaringan gereja rumah bersejarah di Tiongkok.
Baca esai orisinal "Tuhan Sedang Mempersiapkan Seorang Pembebas" oleh Joseph Cheng.
Tanggapan terhadap "Tuhan Sedang Mempersiapkan Seorang Pembebas" karya Joseph Cheng
Dalam khotbahnya tentang Keluaran 1-2, Pendeta Cheng menekankan kedaulatan Tuhan dan tanggung jawab manusia. Pada satu sisi, kita melihat bagaimana Tuhan kita memelihara bangsa Israel di tengah penderitaan yang ditimpakan oleh pemerintah yang tidak bersahabat dengan mereka. Pada sisi lain, Pendeta Cheng juga mengingatkan kita bahwa kita tidak boleh salah menilai situasi saat ini.
Ini adalah pesan yang tepat pada waktunya bagi orang-orang Kristen yang tinggal di Tiongkok. Meskipun tidak mengalami perbudakan dan genosida seperti yang dialami bangsa Israel di Mesir, situasi di Tiongkok menjadi semakin sulit dalam beberapa tahun terakhir. Banyak dari kita mungkin berharap akan adanya perubahan rezim sehingga penganiayaan dapat dihentikan. Ini adalah harapan yang baik; namun demikian, pesan-pesan pendeta Cheng mengingatkan kita bahwa meski tidak ada perubahan yang terjadi di masa mendatang atau sekalipun situasinya semakin memburuk, Tuhan kita masih memegang kendali.
Ini bukan untuk menyangkal atau mengabaikan penganiayaan. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat gedung-gedung gereja dihancurkan, salib-salib dicopot, properti gereja disita, tulisan-tulisan Kristen dihapus, gereja-gereja dipaksa ditutup, orang-orang Kristen dilecehkan, dan bahkan dipenjarakan. Daftarnya terus bertambah panjang. Di tengah segala tantangan ini, keyakinan bahwa gereja adalah milik Yesus Kristus yang memerintah atas segala kuasa duniawi dan senantiasa mengawasi kita, memberi saya keberanian dan penghiburan.
Seorang saudara dari Amerika mengatakan kepada saya bahwa beberapa dekade yang lalu, ketika semua misionaris di Tiongkok diusir dan penduduk asli yang beragama Kristen dianiaya dengan kejam, banyak orang Kristen Barat yang khawatir bahwa kekristenan akan benar-benar musnah di Tiongkok. Namun, mereka sangat terkejut ketika melihat bahwa kekristenan tidak pernah mati; sebaliknya, mereka melihat pertumbuhan yang pesat beberapa dekade kemudian. Tuhan memang telah memelihara gereja-gereja di Tiongkok di masa lalu, dan saya percaya Dia akan terus melakukannya.
Pendeta Cheng juga mendorong kita untuk memakai hikmat saat kita memasuki ladang pelayanan. "Ada kalanya seseorang salah menilai situasi, ... dan apa yang dia bawa adalah bencana," ia memperingatkan. Ini adalah poin lain yang saya setuju. Berbagai macam pelayanan dapat dilakukan, dan kita dapat melakukan pelayanan yang sama dengan cara yang berbeda. Saya telah menyaksikan banyak pelayanan yang hebat di Amerika Serikat, tetapi saya harus selalu bertanya pada diri saya sendiri apakah ini ide yang baik untuk memulai sesuatu yang serupa di Tiongkok, mengingat situasi yang terjadi di dalam dan di luar gereja. Kita membutuhkan hikmat dari Allah untuk membedakan apa yang merupakan mandat Alkitab, apa yang merupakan masalah budaya, apa yang "cerdik seperti ular," apa yang kompromi, apa yang "tulus seperti merpati," dan apa yang "berperang menurut daging."
Seperti yang ditunjukkan oleh Pendeta Cheng, pada awalnya, Musa memilih caranya sendiri untuk menyelamatkan umat-Nya. Namun demikian, itu bukanlah cara dan waktu Tuhan. Ketika Musa berpikir bahwa ia telah siap untuk melayani, Tuhan mempersiapkannya untuk empat puluh tahun lagi di padang gurun. Saya menemukan diri saya berada dalam situasi yang sama seperti Musa. Dulu saya berpikir bahwa visi saya untuk masa depan sudah sangat jelas. Dulu, setiap kali saya ditanya tentang rencana saya setelah lulus seminari, saya selalu mengatakannya dengan penuh keyakinan. Sekarang, ketika saya menulis refleksi ini, saya harus mengakui bahwa kepercayaan diri itu telah hancur. Dulu saya mengatakan kepada semua orang bahwa sebuah pekerjaan (dan pelayanan) sedang menanti saya di Tiongkok. Saat ini, saya menghadapi ketidakpastian yang belum pernah saya alami dalam hidup saya. Kadang-kadang, saya membayangkan Tuhan sedang berbicara kepada saya: "Aku ingin engkau menanggalkan kesombonganmu. Alih-alih berlari mendahului-Ku, engkau harus mengikuti jejak-Ku. Aku ingin engkau pergi ke tempat yang akan Aku tunjukkan kepadamu, dan Aku ingin engkau pergi pada waktu yang telah Kutentukan." Ini sungguh merupakan sebuah pengalaman yang merendahkan hati, dan ini adalah pengalaman yang baik. Menyelesaikan gelar seminari tidak secara otomatis membuat saya siap untuk pelayanan yang saya inginkan. Saya masih memiliki banyak pelajaran yang harus saya pelajari.
Ya Tuhan, Allahku! Aku tahu Engkau telah memanggilku. Jadikanlah aku hamba-Mu yang setia. Berikanlah hikmat rohani kepadaku agar aku dapat mengetahui apa yang menjadi kehendak-Mu. Setelah mengetahui kehendak-Mu, berikanlah aku hati yang taat sehingga aku dapat mengikuti kehendak-Mu dengan hati yang bersukacita, bahkan sekalipun rencanaku sendiri harus ditinggalkan.