Gereja di Padang Gurun: Sebuah Pesan bagi Gereja Global dari Pendeta Gereja Rumah
oleh Paul Peng bersama dengan Hannah Nation
Ketika semua sistem pendukung eksternal gereja telah hilang atau berkurang, kita harus bertanya, apa yang dapat diandalkan oleh gereja? Kesatuan dengan Kristus adalah jawabannya. Tulisan ini melihat apa yang dapat kita pelajari dari gereja rumah Tionghoa tentang bertahan dari penganiayaan dan kesulitan.
Daftar untuk mengunduh artikel PDF bergambar tangan dan berwarna kami.
Tentang Penulis
Paul Peng adalah seorang pendeta dan mantan penerbit di salah satu kota besar di Tiongkok. Dia telah menghabiskan sebagian besar karirnya untuk mempelajari sejarah gereja dan membuat materi-materi teologis untuk gereja di Tiongkok.
Gereja di Padang Gurun: Sebuah Pesan bagi Gereja Global dari Pendeta Gereja Rumah
Sejak penganiayaan dimulai tiga tahun yang lalu (1), gereja-gereja kami di seluruh Tiongkok harus menghadapi sebuah realitas eksistensial—kami "terus mengalami kehilangan." Kehilangan para pendeta kami, kehilangan gedung gereja yang layak, kehilangan perpustakaan, kehilangan ruang kelas, kehilangan banyak relasi yang nyata dengan gereja-gereja lain, kehilangan relasi yang nyata dengan saudara-saudari di luar negeri, kehilangan kesempatan untuk dibina melalui berbagai konferensi atau forum. Suatu hari nanti, kami bahkan mungkin akan kehilangan kesempatan untuk berkumpul secara daring. Sesungguhnya, kami sekarang terpanggil untuk memeriksa kembali hakikat gereja, serta relasi antara gereja dan Injil untuk meletakkan dasar di mana kami akan merekonstruksi sistem gereja.
Ketika semua sistem pendukung eksternal gereja telah hilang atau berkurang, kita harus bertanya: Atas sumber daya apa gereja berdiri? Sumber daya apa yang diandalkan oleh para pendeta? Semua gereja yang menghadapi tantangan serupa harus merespons dari perspektif teologis-eklesiologis. Persatuan dengan Kristus adalah jawabannya.
Persatuan dengan Kristus Memampukan Kita untuk Hidup oleh Injil
Selama beberapa tahun terakhir, saya dan gereja saya telah mengalami kesulitan. Para anggota gereja telah dilecehkan. Saya dibuntuti oleh polisi setiap hari. Selama mengalami peristiwa-peristiwa ini, saya terus-menerus merenungkan dan menyelidiki apa yang menjadi sandaran dan tumpuan generasi tua gereja rumah untuk bertahan dari tahun-tahun tersulit di masa penganiayaan selama pertengahan abad ke-20, ketika orang-orang Kristen dipenjara dan dikirim ke kamp kerja paksa. Ketika terjadi krisis, mereka tidak memiliki internet untuk menyebarkan pesan mereka, tidak ada pengacara yang dapat dihubungi, atau pemimpin gereja lain yang dapat dimintai bantuan. Bahkan orang-orang di dalam jemaat mereka sendiri dapat melaporkan mereka kapan saja. Apa sebenarnya yang mereka andalkan untuk mempertahankan iman mereka, untuk terus melayani, dan untuk tetap hidup secara rohani?
Tidak ada yang dapat dilakukan oleh para pendahulu kami selain berlutut dan memandang salib Kristus di hadapan mereka, serta berdoa, "Tuhan, tidak ada kebenaran di dalam diriku, tetapi Engkaulah kebenaranku. Aku takut, tetapi Engkaulah damai sejahteraku. Aku ingin melarikan diri, tetapi Engkau tetap teguh. Aku kecil, tetapi Engkau besar. Aku miskin, tetapi Engkau kaya. Aku lemah, tetapi Engkau kuat." Secara teologis, cara berpegang teguh pada Tuhan di dalam ruang batin, bersandar pada-Nya, dan mendekat pada anugerah-Nya disebut "persatuan dengan Kristus." Mungkin para pendahulu kami belum tentu menggunakan istilah ini, tetapi praktik rohani mereka persis seperti apa yang dimaksud dengan bersatu dengan Kristus.
"Persatuan dengan Kristus" dalam istilah teologi disebut sebagai "pertukaran yang agung" (2). Bagaimana kebenaran yang telah Allah genapi di dalam Kristus dapat menjadi kebenaran saya? Bagaimana semua kekayaan Allah yang tersembunyi di dalam Kristus dapat menjadi sumber anugerah bagi saya? Bagaimana kuasa Injil Kristus dapat menjadi milik saya? Ini adalah pekerjaan Roh Kudus, yang mengaruniakan iman kepada manusia, dan ini dicapai melalui persatuan dengan Kristus. Persatuan dengan Kristus adalah kunci dari doktrin keselamatan Kristen. Kebenaran kita menjadi realitas melalui persatuan dengan Kristus. Pengudusan kita juga dicapai melalui persatuan dengan Kristus dan kita juga memasuki kemuliaan kita melalui persatuan dengan Kristus. Apa yang dipraktikkan oleh para bapa gereja rumah adalah teologi persatuan dengan Kristus.
Hari ini kita sering mengatakan bahwa kita tidak hanya masuk oleh Injil, tetapi kita juga hidup oleh Injil secara terus-menerus. Hal ini dicapai dengan tepat melalui persatuan dengan Kristus. Orang-orang kudus di sepanjang zaman telah memiliki banyak sekali refleksi dan praktik dalam hal ini. Izinkan saya membagikan beberapa contoh. John Calvin, seorang reformator, berkata bahwa "kita harus memahami bahwa selama Kristus berada di luar diri kita dan kita terpisah dari-Nya, maka segala sesuatu yang telah Ia derita dan lakukan bagi umat manusia adalah sia-sia dan tidak ada nilainya sama sekali bagi kita. Oleh karena itu, Ia harus menjadi bagian dari kita dan tinggal di dalam kita." Thomas Goodwin, seorang Puritan, berkata, "Berada di dalam Kristus, dan bersatu dengan-Nya, adalah konstitusi fundamental seorang Kristen." Jonathan Edwards, pionir gerakan Injili, berkata, "Berdasarkan persatuan orang percaya dengan Kristus, Dia benar-benar memiliki segala sesuatu." J. I. Packer, seorang teolog kontemporer, mengatakan bahwa "persekutuan antara Allah dan manusia adalah tujuan, di mana penciptaan dan penebusan menjadi sarananya; persekutuan ini adalah tujuan yang harus selalu ditunjukkan oleh teologi dan khotbah; persekutuan ini adalah esensi dari agama yang benar; ini sungguh adalah definisi dari kekristenan" (3).
Apakah hubungan antara praktik para pendahulu gereja rumah yang bersatu dengan Tuhan di dalam ruang batin dengan istilah teologis iman Kristen ortodoks "persatuan dengan Kristus"? Bagaimanakah kita mewarisi tradisi rohani ini ketika kita menghadapi upaya penutupan gereja?
Tradisi Rohani Gereja Rumah
Selama beberapa dekade terakhir, gereja rumah telah membentuk banyak tradisi sendiri. Bagaimana kita memastikan tradisi ini tetap hidup? Perbedaan yang jelas antara dua konsep akan membantu kita: norma dan teladan. Yang disebut norma adalah sebuah standar yang tidak dapat diubah dan mengharuskan semua orang untuk mengikutinya. Yang disebut teladan adalah sebuah prototipe, sebuah karya yang dibangkitkan oleh tindakan-tindakan kemurahan Allah di dalam sejarah gereja, yang di dalamnya terdapat sebuah semangat untuk dipelajari dan diwarisi.
Jelas, gereja rumah bukanlah norma, karena hanya Alkitab dan kebenaran yang alkitabiah sajalah yang menjadi norma kita. Ketika seseorang berkata bahwa "gereja kami selalu melakukan hal ini, jadi kami harus melakukannya," mereka menempatkan gereja mereka pada posisi normatif, yang justru membawa stagnasi dan menghalangi kita untuk mewariskannya sebagai sebuah tradisi yang hidup. Ketika kami mengakui bahwa gereja rumah adalah sebuah teladan, bukan norma, kami dengan rendah hati mengakui bahwa gereja rumah adalah sebuah karya yang dibangkitkan oleh tindakan Allah yang penuh anugerah, suatu iman ortodoks yang dicurahkan di dalam sejarah. Oleh karena itu, kami tidak menyederhanakannya, yang dengan kaku menyatakan bahwa apa pun yang telah dilakukan oleh gereja rumah di masa lalu, kami akan terus melakukannya. Sebaliknya, dengan memperhatikan apa yang telah Allah lakukan di dalam gereja rumah, bagaimana anugerah Allah telah bergerak, dan bagaimana kebenaran telah dibagikan, kami kemudian dapat mengambil esensinya dan terus melanjutkan tradisi iman dan kehidupan yang menghidupkan.
Esensi dari gereja rumah dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, warisannya secara doktrinal bersifat konservatif. Gereja rumah berpegang pada kebenaran Injil kuno dan meninggikan otoritas Alkitab. Kami bahkan dapat mengatakan bahwa gereja rumah di Tiongkok adalah komunitas gereja terbesar di dunia yang menjunjung tinggi otoritas Alkitab; ini adalah anugerah dan belas kasihan Tuhan yang istimewa. Kedua, warisannya adalah pengabdian dan ketakwaan yang saleh. Gereja rumah sangat menekankan pada mendekatkan diri kepada Allah dalam ruang batin, berdoa, berurusan dengan dosa dan diri yang lama, menghafalkan Alkitab, dan sebagainya, yang semuanya merupakan latihan rohani yang berharga. Ketiga, warisannya adalah mempertahankan pemisahan antara gereja dan negara. Gereja rumah menegaskan bahwa orang Kristen memiliki tanggung jawab untuk menjadi warga negara yang baik, tetapi doktrin dan pemerintahan gereja hanya tunduk pada kebenaran Alkitab dan hati nurani Kristen, tanpa campur tangan kekuatan eksternal apa pun. Keempat, warisannya menekankan jalan salib. Gereja rumah menekankan bahwa jalan iman adalah jalan salib yang rela mengorbankan diri.
Saat ini, gereja di Tiongkok (dan juga gereja mana pun di dunia yang sedang diserang oleh kekuatan politik dan budaya) perlu terus menghargai warisan ini, dengan menekankan bahwa gereja, keluarga, dan individu-individu harus dikhususkan bagi Tuhan. Warisan dari gereja rumah Tionghoa tidak hanya menolong kami untuk menghadapi penganiayaan pada masa kini, tetapi juga menolong gereja untuk melawan pengaruh sekularisasi.
Sebelum kemenangan Komunis pada tahun 1949, Roh Kudus telah mempersiapkan gereja rumah Tionghoa. Apa yang dipegang teguh oleh para pendahulu gereja rumah dan apa yang mereka pertahankan dalam kehidupan rohani mereka selama penganiayaan besar pada pertengahan hingga akhir abad ke-20 tidak muncul begitu saja. Kekhasan dari gereja rumah bukanlah sebuah penemuan baru, melainkan aplikasi dari anugerah yang disediakan oleh Allah.
Tuhan mempersiapkan gereja rumah Tionghoa dengan dua cara yang penting sebelum tahun 1949. Persiapan pertama bersifat doktrinal. Para misionaris yang konservatif dari kalangan Presbiterian, Baptis, dan kelompok independen serta para penginjil dan pendeta Tionghoa di dalam negeri membangun fondasi doktrin fundamentalis gereja Tionghoa (4). Peristiwa penting yang menandai dimulainya gerakan gereja rumah adalah penerbitan artikel "We—For the Sake of the Faith" oleh Wang Mingdao pada tahun 1958 (5). Esai yang ditulis dengan fasih ini sangat tepat mewakili pernyataan doktrin fundamentalis dari gerakan ini. Sebaliknya, gereja negara di Tiongkok dipengaruhi oleh modernisme dan liberalisme dari seminari-seminari dan gereja-gereja arus utama di Barat. Hingga hari ini, gereja-gereja yang tunduk pada doktrin yang disetujui oleh negara, yang menyingkirkan otoritas Kitab Suci, realitas supernatural, dan doktrin penebusan dosa secara substitusi, mereka menikmati kebebasan dari penganiayaan dan integrasi tanpa batas dengan masyarakat. Gereja di setiap negara menghadapi pilihan antara ortodoksi Kristen dan ketundukan pada budaya.
Persiapan kedua dari gereja Tionghoa adalah dalam kehidupan rohaninya dan penekanan pada pengalaman batin. Liberalisme mengklaim bahwa Allah adalah suatu konsep—konsep tentang kasih, kebenaran, dan lainnya. Dengan demikian, paham ini menggantikan Allah yang benar dan hidup, yang diwahyukan dalam Alkitab, dengan konsep-konsep belaka. Namun respons dari komunitas rohani adalah mengabaikan apa yang orang lain katakan, karena kami telah mengalami Allah dan realitas hidup di dalam Kristus. Ini bukanlah sebuah respons ideologis; ini adalah respons terhadap nihilisme modern melalui pengalaman hidup. Persiapan kedua ini berasal dari Gerakan Kebangkitan Kekudusan pada tahun 1910-1920-an, yang menegaskan kehidupan yang kudus, mengejar kepenuhan Roh Kudus, berfokus pada doa yang sungguh-sungguh, menekankan puasa dan doa, memprioritaskan pengalaman batin dengan Allah, dan hidup bagi Allah sepenuhnya.
Baik doktrin Alkitab yang konservatif dan penekanan pada kehidupan batin yang kudus, telah menolong para pendahulu gereja rumah Tionghoa melewati masa-masa tersulitnya. Dalam bukuThe Key to the Mountain: Imitating Christ Fully and the Way Inside, karya seorang pendeta yang dimasukkan ke dalam kamp kerja paksa sebanyak empat kali dan dipenjara selama dua puluh tahun, penulisnya berbicara tentang manusia batiniah dan manusia lahiriah (6). Manusia lahiriah hidup dengan memuaskan keinginannya dalam keadaan yang menyenangkan, sementara manusia batiniah hidup dalam persekutuannya yang terus-menerus bersama Allah. Kebutuhan manusia yang paling mendasar hanya dapat dipuaskan melalui pemulihan yagn Kristus lakukan terhadap persekutuan dengan Allah. Melalui persekutuan seperti itu, manusia tidak lagi melihat segala sesuatu secara materi melainkan merasakan kasih Allah dan benar-benar mengenal serta mengalami Dia. Dalam biografinya, One Hundred Years of Pilgrimage, Li Tian'en (atau Li Musheng) menceritakan kisahnya saat ia dikirim untuk bekerja di luar pada hari hujan di sebuah kamp kerja paksa. Dia terjatuh begitu dia melangkah keluar dan mengeluh dalam hatinya, "Tuhan, saya adalah anak-Mu, jadi saya tidak bisa berbohong, tetapi Engkau mengizinkan kesulitan seperti itu menimpa saya." Saat ia mengeluh, ia meletakkan peralatannya, berlutut di tanah, dan berdoa, dan kepenuhan Roh Kudus memenuhinya dengan sukacita, damai sejahtera, dan kuasa yang luar biasa, seakan-akan langit terbuka. Saat itu hujan masih turun, tetapi ia memiliki sukacita yang luar biasa, menyanyikan lagu-lagu pujian, dan bekerja di ladang. Hal ini menggambarkan dengan tepat pengalaman persatuan dengan Kristus.
Bibi Yang Xinfei dipenjara karena Tuhan selama bertahun-tahun. Dia bercerita bahwa dia dulunya adalah seorang anak yang sangat penakut, bahkan takut menyeberangi aula besar di rumah keluarganya pada malam hari. Kemudian, ketika dia berada di kamp kerja paksa, dia ditugaskan untuk bekerja pada jam malam, berpatroli di lahan seluas 600 hektar–seorang wanita berkeliling sendirian di pegunungan dalam kegelapan, terkadang di tengah hujan dengan hanya mengenakan sebuah topi yang terbuat dari jerami. Lalu ia teringat Tuhan Yesus yang berdoa kepada Allah sepanjang malam, jadi dia pun mulai meneladani-Nya dan menyanyikan setiap himne yang dia pelajari sejak kecil. Lambat laun, malam yang gelap gulita itu menjadi waktu yang indah untuk memuji dan menyembah, seiring makin banyaknya sukacita yang memenuhi hatinya.
Saya tidak bisa tidak berdoa agar kiranya saudara-saudara kita yang saat ini berada di dalam penjara juga dapat mengalami anugerah persatuan dengan Tuhan dan saya merindukan agar kita semua dapat mengalami anugerah seperti ini ketika melewati jalan-jalan yang lebih sulit melalui padang gurun yang terbentang di depan kita. Memprioritaskan doa, mendekat kepada Tuhan di ruang batin, menaruh perhatian pada perenungan firman Tuhan, melakukan pemeriksaanan atas dosa, dan hidup dalam kekudusan—tradisi rohani seperti ini dapat terlihat dalam kesaksian dan kehidupan hampir semua para pendahulu gereja rumah.
Evaluasi dan Meneruskan Legasi
Tradisi rohani dari gereja rumah perlu dipelajari lebih lanjut dan perlu lebih banyak lagi koleksi karya-karya tulis para pendahulu kami dari berbagai daerah di Tiongkok. Namun, kami juga perlu menempatkan semua ini dalam konteks kekristenan global dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahannya. Jika tidak, pengalaman-pengalaman ini hanya dapat diamati dari kejauhan dan kita tidak akan dapat memasuki realitas dari pengalaman-pengalaman tersebut, apalagi untuk meneruskan legasinya. Ini adalah sebuah pekerjaan besar, dan saya hanya dapat mulai mengeksplorasi cara-cara yang dapat dilakukan oleh kita semua untuk meneruskan legasi ini.
1. Tradisi rohani dari gereja rumah berfokus pada bagaimana berurusan dengan dosa dan menjalani kehidupan yang kudus, yang sangat berharga. Meski demikian, tidak ada perhatian yang memadai yang diberikan untuk mengalami kelegaan rohani, sukacita Injil, dan pengharapan akan kemuliaan. Tidak ada keseimbangan dalam hal ini.
Mengapa saya membuat klaim seperti itu? Seperti halnya budaya di mana kekristenan sedang diserang, kita sering melihat di gereja-gereja rumah bahwa banyak orang percaya generasi kedua yang menjauh, karena menurut mereka perjalanan ini terlalu sulit. Bahkan para pendeta yang lebih muda pun berpikir bahwa tuntutan dari generasi yang lebih tua terlalu ketat. Hal ini biasanya terjadi karena generasi pertama telah merasakan betapa berharganya Tuhan dan kasih karunia-Nya dalam menghadapi penderitaan yang besar, sehingga mereka rela mengonfrontasi dosa mereka setiap hari dan menjalani kehidupan yang kudus. Namun, jika soal menghadapi dosa serta menjalani kehidupan yang kudus dan penuh doa menjadi fokus di generasi kedua, maka hal itu akan berubah menjadi legalisme. Fokus Injil haruslah pada apa yang telah Allah lakukan bagi kita di dalam Kristus. Kita perlu membantu generasi berikutnya untuk mengetahui dan mengalami Injil, sehingga mereka dapat membangkitkan motivasi yang benar dari dalam diri mereka untuk menghadapi dosa dan mengejar kehidupan yang kudus.
2. Kita perlu menjelaskan bahwa persatuan dengan Allah dicapai melalui persatuan dengan Kristus.
Meskipun Alkitab berbicara tentang bersatu dengan Allah, Alkitab mengajarkan bahwa kita bersatu dengan Allah melalui Kristus, Sang Pengantara. Dengan kata lain, penyaliban dosa kita diselesaikan melalui persatuan dengan Kristus, dan kekayaan Allah di dalam Kristus juga tersedia bagi kita melalui persatuan kita dengan Kristus. Jika saya sedikit menganalisis narasi dari pengalaman gereja rumah Tionghoa, saya akan mengatakan bahwa keberpusatan pada Kristus masih perlu lebih ditekankan; jika tidak, persatuan dengan Allah dapat dengan mudah tergelincir ke arah bahaya mistisisme. Gereja rumah bersikeras bahwa sebelum melayani orang lain, kita dilayani oleh Allah terlebih dahulu. Hal ini memang benar. Namun, gagasan bahwa kita dapat dilayani oleh Allah bisa dengan mudah menjadi sia-sia atau menyimpang jika tidak berpusat pada Kristus.
Ketika kaum Puritan berbicara tentang persatuan dengan Allah, mereka menekankan bahwa persatuan dengan Allah dapat dicapai melalui persatuan dengan Kristus. John Owen mengatakan bahwa persatuan dengan Kristus adalah "yang terbesar, yang paling terhormat, dan mulia dari semua anugerah yang kita terima" (7). Reformasi Belanda menekankan bahwa Kristus bekerja di dalam pengalaman penderitaan, keselamatan, dan pengudusan kita melalui tiga jabatan-Nya sebagai nabi, imam, dan raja. Inilah fokus dari bekerjanya anugerah Allah, yang menggerakkan jiwa kita menuju kelimpahan dan kemuliaan.
3. Kita perlu menyatukan pengalaman batiniah dengan motivasi untuk misi.
Dalam gereja rumah Tionghoa, dan mungkin juga di dalam gereja global, teologi perjanjian yang mendalam dan visi kerajaan masih dibutuhkan untuk memilah hubungan antara ruang batin dan kehidupan di luar. Kelompok-kelompok yang secara aktif mencari pengalaman kehidupan batin mengadu domba usaha manusia dengan pekerjaan Allah, dengan mengatakan hal-hal seperti, "Lepaskan dan biarkan Allah bekerja." Mereka mengkritik mereka yang mencari bantuan hukum untuk gereja karena mengandalkan usaha manusia. Mereka mengklaim bahwa mereka yang mempromosikan kebebasan beragama terlibat dalam masalah politik. Mereka merendahkan orang-orang yang membuat rencana penginjilan, dengan mengatakan bahwa hal itu hanyalah pekerjaan manusia; kita harus berhenti dan menantikan Tuhan bekerja.
Saya pernah bertemu dengan seorang penatua yang sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran kehidupan batiniah dari Andrew Murray, Bruder Lawrence, dan Madame Guyon. Setiap kali pendetanya mempromosikan sebuah rencana penginjilan, penatua itu akan berargumen bahwa rencana manusia tidak ada artinya. Selama kita hidup di dalam Kristus dan menyebarkan aroma Kristus, secara alamiah kita akan menarik semua bangsa kepada Tuhan. Saya tidak yakin, jadi saya pergi dan mempelajari karya-karya para penulis ini, terutama Andrew Murray. Ada pepatah di Afrika Selatan yang mengatakan bahwa di belakang Mandela ada doa Uskup Agung Tutu, dan di belakang Uskup Agung Tutu ada tulisan-tulisan rohani karya Andrew Murray. Ketika Andrew Murray menulis buku The Inner Life, ia sedang melayani di tempat yang sangat sulit, dan mendekatkan diri kepada Tuhan di ruang batin adalah sumber motivasinya. Tanpa anugerah persatuan dengan Tuhan dalam ruang batin, tidak mungkin baginya untuk melanjutkan pelayanannya. Namun Andrew Murray kemudian secara aktif mempromosikan pengutusan misionaris kepada penduduk asli Afrika dan mendirikan sekolah-sekolah serta pos-pos misi. Andrew Murray-lah yang membuat pernyataan yang sering dikutip, "Misi bukanlah salah satu kegiatan gereja, tetapi satu-satunya tujuan dari keberadaan gereja" (8).
Tuhan bukan hanya Allah atas kehidupan batin kita saja, melainkan Dia juga adalah Allah atas tubuh kita, Allah atas budaya dan lingkungan, dan Allah atas sejarah. Kita perlu memasuki tabir ruang batin dengan visi ini, sehingga memotivasi kita untuk pergi ke ladang misi.
4. Bukan hanya individu, melainkan gereja juga harus bersatu dengan Kristus dalam masa-masa penganiayaan dan kesulitan.
Kesulitan yang dihadapi generasi kita saat ini bukan hanya tentang bagaimana individu-individu dapat berpegang teguh pada iman mereka, melainkan bagaimana gereja sebagai sebuah komunitas dapat mempertahankan iman tersebut. Dengan kata lain, apa hubungan antara individu yang dipersatukan dengan Kristus dan doktrin gereja? Di padang gurun, dalam kekurangan, penganiayaan, dan kesukaran, panggilan kita bukan hanya untuk memahami betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus (Efesus 3:18) sebagai seorang individu, tetapi juga sebagai sebuah umat yang bersama-sama.
Mari kita perhatikan tiga penglihatan yang menggambarkan gereja dalam kitab Wahyu. Pertama, Wahyu 7:4 berkata, "Dan aku mendengar jumlah mereka yang dimeteraikan itu: seratus empat puluh empat ribu yang telah dimateraikan dari semua suku keturunan Israel." Jumlah ini melambangkan formasi perang yang telah diatur dengan baik. Sebelum maju ke medan perang, orang-orang dihitung jumlahnya. Jumlah yang sempurna secara simbolis ini juga menunjukkan perlindungan Allah yang sempurna bagi umat-Nya. Dari sudut pandang duniawi, mereka tercerai-berai, bahkan hidup dalam persembunyian, bagai tentara yang kalah dan terserakkan. Namun, dari sudut pandang surgawi, Tuhan mengenal mereka semua dan memandang mereka sebagai anggota tentara surgawi yang tersusun rapi. Di antara semua orang yang menjadi milik Tuhan, di mana pun mereka berada, tidak ada satu pun yang akan tersesat. Bahkan jika mereka kehilangan nyawa mereka di bumi, Tuhan akan memelihara kehidupan mereka dalam kekekalan.
Betapa luar biasanya visi ini, dan betapa menakjubkan pesannya. Visi ini mengingatkan orang-orang yang berada di tengah penganiayaan bahwa betapa pun menyedihkannya penampilan kita secara lahiriah, kita tidak boleh lupa bahwa kita adalah anggota tentara Allah dan harus melaksanakan misi serta tujuan Allah. Kita tidak boleh terjebak dalam sikap mengasihani diri sendiri dan merasa rendah diri. Kita seharusnya percaya bahwa kita tidak sendirian. Kita dipanggil untuk menjadi tentara-tentara di dalam pasukan-Nya, dan kita telah dimeteraikan oleh Allah.
Perspektif ini mengubah pandangan kita terhadap denominasi dan gereja-gereja lain. Semua gereja sejati milik Kristus, apa pun denominasinya, apakah itu Presbiterian, Lutheran, Baptis, atau independen, semuanya berbaris rapi di hadapan Kristus Sang Raja. Mereka semua dikasihi oleh Tuhan dan dipelihara oleh Tuhan.
Perspektif ini juga mengubah cara kita memandang kegagalan. Kegagalan tidak ditentukan oleh dunia, melainkan oleh Allah. Orang-orang Kristen dan gereja-gereja yang berada di bawah penganiayaan dan penderitaan dipandang sebagai sampah dunia, tetapi mereka adalah harta berharga di hati Allah. Mereka sedang dipoles oleh penderitaan di dunia; mereka sedang menjadi hasil karya tangan Tuhan. Mereka terlihat seperti pecundang, tetapi mereka adalah pejuang di mata Tuhan. Mereka tercabik-cabik oleh penderitaan di bumi, tetapi mereka ditenun oleh tangan Tuhan sendiri menjadi permadani.
Kedua, ada penglihatan tentang "kota yang dikasihi" dalam Wahyu 20:9. Gereja dikelilingi oleh musuh-musuh, tetapi gereja dikasihi oleh Tuhan, dan Ia mencurahkan kasih-Nya melalui kebenaran-Nya dan Roh Kudus. Gereja di Tiongkok telah menghadapi penganiayaan dalam beberapa tahun terakhir, dan telah mengalami pandemi pada tahun 2019. Ketika penganiayaan dan penderitaan datang, ada orang-orang yang semakin menjauh dari gereja. Bahkan, mereka akhirnya semakin jauh dari Tuhan dan kasih-Nya, dikuasai oleh iblis dan pola dunia. Namun, mereka yang berpegang pada gereja dalam kesulitan dan penganiayaan menerima pengalaman yang semakin dalam akan kasih karunia yang berlimpah yang dianugerahkan Tuhan melalui gereja.
Ketika Paulus menulis surat Efesus dari penjara, ia sangat merindukan saudara-saudari di dalam gereja, tetapi dengan mendoakan mereka, ia mengalami kasih Kristus bagi gereja yang tak terbatas. Dengan berpegang teguh pada iman, tetap berada di dalam gereja, dan mengalami kasih karunia Allah yang ditambahkan bagi kota tercinta, kita bersama-sama dengan semua orang kudus memahami betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus.
Ketiga, berbeda dengan pesta Babel yang penuh godaan di bumi, ada penglihatan tentang perjamuan kawin Anak Domba dalam Wahyu 19. Penglihatan ini berbicara tentang persatuan dengan Kristus.
Babel duniawi terus-menerus membisikkan kepada anak-anak Allah, "Kalian memiliki berbagai macam ketidakpuasan, bukan? Kepuasan kalian hanya dapat dipenuhi melalui aku, dan kalian harus memanjakan dirimu sendiri." Namun, Anda dapat menanggapi pencobaan ini dengan perjamuan kawin Anak Domba, "Tuhanku telah mati bagiku. Untuk memberikan perjamuan yang benar-benar dapat memuaskanku, Ia telah menyerahkan nyawa-Nya bagiku. Keselamatan dan kasih-Nya memuaskan aku."
Babel duniawi akan menekan Anda dan berkata, "Jika kamu tidak mengasihi aku atau menaatiku, aku akan membuatmu menderita." Namun, Anda dapat menjawab, "Tuhanku tidak meninggalkan aku sebagai yatim piatu. Dia telah berjanji bahwa seperti hari-hariku, demikian juga kekuatanku. Kasih karunia-Nya cukup bagiku."
Babel duniawi mengancam, "Jika kamu tidak berpartisipasi dalam kejahatan bersamaku, aku akan membuatmu tidak mungkin hidup." Namun, Anda dapat menjawab, "Tuhanku telah mati di kayu salib untuk dosa ini—dahulu aku hidup dengan caraku sendiri, dengan cara dunia, dan tidak mengandalkan Allah. Dia mati bagiku sehingga aku tidak lagi hidup dalam dosa atau oleh dosa, melainan aku hidup oleh kesetiaan Tuhan."
Babel duniawi mencobai Anda dan berkata, "Bagaimana Allah mengasihimu? Kamu hanya dapat menjalani kehidupan yang baik dengan mengikut aku. Betapa menyedihkannya dirimu." Kemudian Anda dapat menjawab, "Kasih Kristus tidak pernah meninggalkan aku. Allah telah menyerahkan Anak-Nya sendiri untukku. Tidakkah Ia akan memberikan kasih karunia yang kubutuhkan setiap hari?"
Babel duniawi menggoda Anda dan berkata, "Mari, datanglah ke pestaku. Sungguh luar biasa di dunia ini." Namun, Anda dapat dengan murah hati menjawab, "Tidak. Aku akan menyiapkan ruang di perutku untuk perjamuan makan terbaik dan makan makanan yang tidak dapat binasa serta yang bertahan selamanya. Aku sedang menantikan pesta pernikahan yang lebih mulia untuk dipuaskan sepenuhnya." Menunda kenikmatan, bagi orang Kristen, adalah ungkapan keyakinan terhadap apa yang akan datang.
Apakah Anda melihatnya? Penglihatan-penglihatan ini adalah soal memahami bersama semua orang kudus tentang betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus.
Para pendahulu kami dari gereja rumah Tionghoa telah menyelesaikan perlombaan dan berjuang dalam pertarungan yang baik. Namun, kami, di generasi sekarang, memiliki pertanggungjawaban yang harus kami berikan kepada Tuhan. Dari manakah motivasi kami berasal? Bukan dari luar Injil, dari luar Kristus, melainkan dari persatuan yang terus-menerus dengan Kristus. Kita tidak hanya hidup di hadapan Tuhan sebagai individu-individu yang terpisah, tetapi kita juga hidup sebagai gereja, berkomitmen pada gereja Tuhan, mengasihi dan melayani gereja Tuhan, memajukan kerajaan Kristus, dan memahami bersama semua orang kudus betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus. Dengan memandang kepada-Nya, kita hidup.
Bagi kami, kesulitan telah tiba. Bagi banyak orang, kesulitan akan datang. Semoga kita tersebar di berbagai tempat, seperti bulir-bulir gandum yang terkubur di dalam tanah, sehingga saat bulir itu mati, ia akan menghasilkan dengan melimpah. Semoga kita menjadi seperti bunga dandelion, yang tampaknya tertiup angin, tetapi saat musim semi berikutnya tiba dan bunga-bunga itu bermekaran, bunga-bunga itu menunjukkan kemegahannya di pegunungan dan di dataran. Semoga anugerah Allah Tritunggal menopang rekan-rekan sekerja saya di segala tempat di seluruh Tiongkok dan di seluruh dunia. Kiranya Allah dimuliakan di dalam Kristus dan di dalam gereja di sepanjang segala zaman, sampai selama-lamanya. Amin.
Catatan:
Pada tahun 2018, pemerintah Tiongkok mulai memberlakukan peraturan agama yang baru. Sejak peraturan itu diperkenalkan, semua agama di Tiongkok telah mengalami peningkatan regulasi, pelecehan, dan penganiayaan.
Dalam tafsiran Luther tentang Mazmur [Martin Luther, Werke 5 (edisi Weimar), 608], ia menjelaskan tentang pertukaran dosa orang percaya dengan kebenaran Kristus sebagai "pertukaran yang luar biasa." Demikian pula, tafsirannya pada tahun 1535 tentang Galatia [Martin Luther, Werke 40.1 (edisi Weimar), hlm. 443] Luther menyebutnya sebagai "pertukaran yang membahagiakan." Mungkin kutipan yang paling relevan, karena ini terjadi dalam konteks persatuan dengan Kristus, berasal dari Institutes 4.17.2 karya Calvin, di mana ia menulis, "Inilah pertukaran yang menakjubkan yang dikerjakan oleh kebaikan-Nya yang tak terbatas."
Kutipan-kutipan ini diambil dari Rankin Wilbourne, Union with Christ: The Way to Know and Enjoy God (David C. Cook, 2018).
Versi asli dari tulisan ini berisi diskusi panjang mengenai pengaruh doktrin fundamentalis dan liberal terhadap kekristenan Tiongkok pada awal abad ke-20. Di bawah pengaruh para misionaris dan lembaga pendidikan Barat, kedua aliran teologis ini sangat memengaruhi para pendeta yang sedang naik daun di Tiongkok, gereja-gereja yang berafiliasi dengan denominasi dan non-denominasi, serta gerakan-gerakan masyarakat lokal sebelum revolusi Komunis.
Gerakan Patriotik Tiga Diri (GPTD) dibentuk sebagai gereja Protestan yang disetujui oleh negara setelah revolusi Komunis. Prinsip-prinsip resmi GPTD adalah pemerintahan mandiri, swadana, serta penyebaran sendiri, dan pada akhirnya berada di bawah kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Pada tahun-tahun menjelang pembentukan GPTD, sekitar setengah dari seluruh umat Kristen Tiongkok menandatangani "Manifesto Kristen," sebuah dokumen yang menyatakan kesetiaan dan ketundukan kepada pemerintah baru. Sebagai tanggapan, Wang Mingdao menulis serangkaian artikel yang mengkritik GPTD dan menyebut mereka yang tunduk pada GPTD sebagai orang Kristen palsu. Artikelnya yang paling terkenal adalah "We—For the Sake of Faith," yang dianggap oleh banyak pendeta gereja rumah sebagai awal dari gerakan gereja rumah.
Sebagian besar kesaksian dan kisah-kisah tentang pengalaman gereja-gereja rumah selama abad ke-20 belum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan.
Dikutip dalam Wilbourne, 29.
Kutipan kuno ini sering dikaitkan dengan Andrew Murray, seorang misionaris Gereja Reformasi Belanda abad ke-19 yang dikirim dari Skotlandia ke Afrika Selatan.
Hak Cipta © 2021 oleh Center for House Church Theology. Kami mendorong Anda untuk menggunakan dan membagikan materi ini secara bebas-tetapi harap tidak memungut bayaran, mengubah susunan, atau menghapus informasi hak cipta.
Panduan Studi
Panduan studi 12 halaman ini didasarkan pada artikel yang diterbitkan di housechurchtheology.com. Panduan ini dimaksudkan untuk membantu para pembelajar di gereja global atau lingkungan akademis untuk memahami dan menerapkan suara-suara pengajaran dari gereja rumah Tionghoa.
Ini termasuk:
Introduksi
Garis Besar dan Ringkasan
Tanggapan oleh K.A. Ellis
Pertanyaan Diskusi